Islam
dan kesetaraan gender
Rusli
latif
Abstrak
: persoalan gender merupakan salah satu fenomena publik yang akhir ini banyak
di perbincangkan di kalangan masyarakat. Meskipun oleh sebagian orang hal tersebut
sudah di anggap selesai namun masih banyaknya pembahasan tentang gender yang di
sebabkan kompleknya persoalan itu sendiri, mulai dari terjadinya ketimpangan
dalam kasus yang itu wanita menjadi korban, cara penyelesainya yang di tawarkan
masih banyak lagi. Keberadaan agama sering kali di tuduh sebagai justifikasi
atas persoalan ini. Salah satunya ajaran agama
islam. Makalah ini mencoba menjelaskan perkara mengeni isu gender dari
pandangan agama, negara serta penyebab terjadinya. Salah satu penekanannya
yakni terhadap teks suci agama yang memberikan kesimpulan bahwa agama
sebenarnya ingin mengagkat derajat kaum wanita sendiri namun di sisi yang lain
justru ada berbagai penafsiran secara hermenetik tanpa mendekonstruksi-kan ayat
tersebut terhadap kondisi sosial yang terjadi.
Kata
kunci ( Islam, kesetaraan, perjuangan dan
Indonesia )
Kata
gender yang biasa di tulis gender bukanlah hal yang asing lagi,karena kata-kata
gender telah memasuki ruang diskusi masalah sosial sejak dua puluh tahun
terakhir. Kata gender dalam bahasa inggris “gender”
yang berarti “jenis kelamin”.[1]
Sedangkan dalam women’s studies encyclopedia di jelaskan bahwa gender adalah
suatu konsep kultura yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran perilaku, mentalitas
dan karakteristik emosional anatara laki-laki dan perempuan yang berkembang di
masyarakat.[2]
A. Gerakan Perempuan
Islam
merupakan agama yang sangat inklusif terhadap umat manusia salah satu
doktinasinya yakni islam tidak menganggap bahwa ras maupun etnis suku quraisy
sebagai suku yang paling tinggi meskipun ada beberapa pihak yang menentangnnya
namun kita bisa lihat dengan syariat yang selama 14 abad masih teguh serta kokoh oleh para cendikiawan
yang muncul setiap abadnya. Namun islam justru memberikan gerbang kebenaran
bagi siapa saja manusia yang ingin memasukinya hal tersebut senada dengan
pembawanya yakni rasulullah saw. Apabila dilihat jauh salah satu faktor yang
mendukung suksenya misi nabi muhammad saw menyebarkan islam berisi tentang
pembebasan dari berbagai pembebasan. Islam datang membawa kemerdekaan bagi
siapa saja apakah itu laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak.secara
substansi, setiap agama mengemban misi pembebas. Semangat pembebas tersebut
salah satunya tercermin dalam teks suci dan teraktualisasi dalam kehidupan
nyata oleh para pemeluknya. Akan tetapi sering terjadi kesenjangan anatara teks
dan penafsiran dari kitab suci tersebut.[3] Setelah
datang islam kesetaraan gender mulai di rasakan nama muhammad lebih
mengutamakan rasional dan profesional daripada pandangan pertimbangan emosional
dan tradisional dalam menjalankan misi islam. Islam menempatkan laki-laki dan
perempuan dalam posisi yang sejajar. Islam datang merubah budaya dan tradisi
patriarkhi bangsa arab dengan cara yang revolusioner. Bahkan nabi muhammad di
kenal seorang “feminis” yang
menghargai perempuan. Nabi berusaha merombak budaya yang menyudutkan posisi
perempuan dengan memerintahkan laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana
kepada kaum perempuan.
B.
Teks Nash
Al-Qur’an
Tertulis dalam ayat
al-Quran surat al-Hujurat ayat 13, yakni : “ Wahai manusia!sungguh, kami
telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah SWT adalah yang paling bertaqwa.
Sungguh , Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Teliti”.
Ayat tersebut dengan
jelas, menjelaskan bahwa antara satu manusia dengan manusia yang lain tidak ada
pembeda diantara mereka, bahkan antara laki-laki dengan perempuan. Berikut
Penjelasannya :
Ayat Al-Qur’an Tentang Penciptaan
Laki-Laki dan Perempuan
|
||
No
|
Nama Surat
|
No Ayat
|
1
|
Ar-rum
|
21
|
2
|
An-nisa
|
1
|
3
|
Hujurat
|
13
|
Ayat Al-Qur’an Tentang Kesetaraan ( kapasitasnya
sebagai hamba )
|
||
No
|
Nama Surat
|
No Ayat
|
1
|
An-Nahl
|
97
|
2
|
Al-A’raf
|
22
|
3
|
Al-A’raf
|
165
|
4
|
Al-A’raf
|
172
|
5
|
Al-Zariyat
|
56
|
Ayat Al-Qur’an Tentang Kedudukan dan
Kesetaraan Antara Laki-Laki dan Perempuan
|
||
No
|
Naman Surat
|
No Ayat
|
1
|
Ali-Imran ayat 195
|
195
|
2
|
An-nisa
|
124
|
3
|
An-nahl
|
97
|
4
|
At-taubah
|
71-72
|
5
|
Al-Ahzab
|
35
|
Dalam kehidupan
sehari-hari, terdapat perbedaan yang mendasar antara orang laki-laki dengan
orang perempuan. Perbedaan ini lebih jauh tidak terdapat kejelasannya karena
ketika ditanya mengapa? Masyarakat sendiri juga bingung. Bahkan jika ada,
mereka hanya menjawab dengan asal-asalan. Sebagian orang mengatakan, laki-laki
adalah pemimpin perempuan. Pernyataan inilah yang paling banyak dianut di
masyarakat. Ketika anggapan tersebut ada, maka para lelaki menganggap diri
mereka satu tingkat diatas perempuan. Sebenarnya pernyataan tersebut (tentang
laki-laki sebagai pemimpin) memang benar, akan tetapi perasaan diatas perempuan
inilah yang salah. Pernyataan ini akan memudar secara aturan akan tetapi tetap
ada secara kebiasaan. Sejarah pada zaman Rasulullah pun masih memperlihatkan
masih tertindasnya kaum perempuan. Contoh, ketika Umar r.a mendapati anaknya
adalah perempuan. Dengan langsung menggali liang, Umar r.a mengubur anaknya.
Karena saat itu, memiliki anak perempuan merupakan boomerang yang langsung
diarahkan pada orang tuanya dan siap untuk ditembakkan.
Bahasan mengenai
asal usul manusia dan kesetaraan gender, Amina Wadud merujuk pada firman Allah
swt. dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 1.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَ “Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu,
dan daripadanya Allah menciptakan istrinya.”
Ayat-ayat yang
juga bias gender dan kontroversial pemahamannya adalah tentang penciptaan perempuan.
Allah telah memuliakan perempuan sebegitu rupa dengan mengabadikannya nama
surat dalam al-qur’an (annisa) al-qur’an tidak pernah mendiskritkan perempuan.
Tetapi apabila akhirnya kita menemukan presepsi yang mengatakan bahwa perempuan
lebih rendah derajatnya daripada laki-laki, maka itu di karenakan penafsiran
dan pemahaman yang berbeda-beda dan budaya bias gender pada saat itu.dari
beberapa konsep penciptaan manusia di atas, hanyalah penciptaan hawa yang tidak
di sebutkan dengan jelas. Hal yang paling kontroversial dalam penciptaan
perempuan, khususnya hawa adalah surat annisa ayat 1. Kata nafsin wahidah, minha dan zaujaha menjadi reaksi yang potensial
untuk di tafsirkan secara kontroversial.menurut mayoritas ahli tafsir di antaranya ibn katsir, al-zamakhsyari dan
alusy senada menafsirkan nafsin wahidah
sebagai adam dan zaujaha sebagai
hawa. Hawa di ciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri argumen yang di gunakan
adalah bahwa kata min dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah li
al-tab’id menunjukan makna sebagiaan) maka hawa di ciptakan dari sebagian nabi
adam yaitu tulang rusuk yang bengkok sebelah kiri atas pemahaman ayat ini juga
di perkuat oleh hadis yang secara eksplisit mendukung hal tersebut.[4]
Dan al-Qur’an
surat ar-Ruum ayat 21.
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Menurut Amina
Wadud yang perlu dikritik ulang adalah kata nafs
wahidah dan zauj. Menurutya kedua
ayat tersebut menjelaskan tentang kisah asal usul manusia versi al-Qur’an,
tanpa kejelasan tentang Adam dan Hawa. Namun ayat tersebut dipahami sebagai
penciptaan Adam dan Hawa.
Dari akar katanya
nafs adalah muannas, akan tetapi kenapa ditafsirkan sebagai lelaki (Adam).
Menurut Amina Wadud nafs menunjukan bahwa seluruh manusia itu berasal dari asal
yang sama. Kata zauj sendiri sifatnya netral karena secara konseptual
kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk muannas atau muzakkar. Kata zauj yang
bentuk jamaknya azwaj ini sering digunakan untuk menyebut tanaman (QS.
ar-Rahman, 52) dan hewan (QS. Hud, 40). Mengapa para mufassir tradisional
menafsirkan zauj dengan makna istri, yakni Hawa? Amina Wadud tidak sependapat
dengan penafsiran tersebut.
2. Konsep Nusyuz,
Disharmoni Rumah Tangga
Para mufassir
ketika membicarakan tentang nusyuz biasanya mengutip dari al-Qur’an
surat an-Nisa, 34.
وَاللاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “ Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.”
Pada ayat ini mufasir
sering kali ditafsirkan dan dijadikan legitimasi para suami untuk melakukan
kekerasan terhadap istri yang dianggap telah nusyuz. Kata nusyuz dalam kitab
fiqh dan tafsir klasik pengertiannya ditujukan untuk istri yang tidak patuh
kepada suami.
Menurut Amina
Wadud, kata nusyuz bisa juga ditujukan untuk kaum laki-laki (QS. an-Nisa, 128)
dan kaum perempuan (QS. an-Nisa, 34), walaupun dua kata ini sering diartikan
berbeda. Ketika merujuk pada kaum perempuan, kata nusyuz diartikan dengan
ketidakpatuhan istri pasa suami. Sedangkan ketika merujuk pada kaum laki-laki,
kata nusyuz diartikan dengan suami bersikap keras terhadap istri dan tidak mau
memberikan haknya kepada istrinya. Menurut Amina Wadud, al-Qur’an menggunakan
kata nusyuz untuk kaum laki-laki dan perempuan, maka ketika kata nusyuz
disandarkan pada perempuan (istri), ia tidak diartikan dengan ketidakpatuhan
pada suami. Akan tetapi lebih pada pengertian adanya gangguan keharmonisan
dalam rumah tangga.
Ideologi yang sudah melekat di benak
masyarakat ini lambat laun mulai di benahi rasulullah dengan ajaran islam. Melalui
ajaran islam beliau memberikan peran proporsiaonal bagi perempuan. Sedikit demi
sedikit derajat perempuan yang aktif dalam bidang produksi, diantaranya khadijah binti khuwailid, istri
rasulullah (komisaris perusahaan) zaenab
binti jahsy (penyamak kulit binatang) ummu
salim binti malhan (perias pengantin) zaenab
binti mas’ud dan alliat ummi bani
ammar (wiraswasta) serta asy-syifa
(petugas pasar kota madinah).[5]
Islam sangat menekankan pada keadilan di semua aspek kehidupan. Keadilan ini
tidak akan tercapai tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal
dari penderitaan. Hal ini di tegaskan dalam Al-qur’an bahwa orang-orang yang
beriman di perintahkan untuk berjuang membebaskan golongan masyarakat lemah dan
tertindas. Hal ini sudah di mulai ketika nabi saw mengangkat seorang budak
kulit hitam bilal bin rabbah menjadi
muadzin.
C. Gerakan Perempuan di Dunia
Jika
kita lihat secara historis dialog antara tuhan dan manusia sejatinya sudah
melepaskan ras maupun agama yang di anut karena mereka adalah orang pertama seperti
yang kita yakini sekarang ini. Begiupun dari seorang perempuan yang selalu
tidak puas dengan lawan jenisnya (maskulin) karena selalu di angga ada sebuah
di kotomi secara “gender” yang secara
sensitif bisa saja merusakan keharmonisan baik bersaudara, teman, masyarakat
bahkan berkeluarga. lahir serta timbulnya gerakan perempuan tentu mempunyai
banyan versi namun dalam hal ini hanya ingin menjelaskan dari sektor kebudayaan
yang di berikan oleh kaum hawa selama 20 tahun terakhir. Misalnya saja di Tunisia,
Rabat dan Al-jazair perempuan meneriakan kekhawatirannya lebih keras ketimbang
ke tempat lain. Mereka seringkali berperan sebagai pengambil inisiatif pertama
untuk turun ke jalan, sementara lai-laki baru bisa melakukan setelah berunding
dengan kekuatan lainnya.di Rabat aku terlibat dalam banyak pertemuan yang
secara spontan membawa para intelektual dari semua aliran bersama-sama mengambil
posisi menentang perang. Ketika di putuskan kita akan mengantarkan tiga atau
empat komite ke kedutaan asing atau membacakan statmen di kepala negara, aku
seringkali kecewa melihat berbelit-belitnya strategi diplomatik yang seringkali
tidak di percaya. Padahal menurut aka, hal itu sederhana saja. keruwetan itu
tidak pernah mampir di benakku. Karena, tersingkirnya aku membuat kekuasaan
memberikan kebebasan berfikir yang menakjubkan persetan dengan ketidakberdayaan
tak tertahankan yang seringkali menyertainya. [6]
Gerakan Perempuan Islam dan
Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
Pada
abad ke-6 Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur
Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal,
patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah ;
sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di
praktekkan adalah perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat
menggandrungi wanita wanita), yang dijumpai di Arabia, termasuk
Makkah, sekitar masa kelahiran Muhammad (kira kira pada abad 570 M)
wanita tetap tinggal bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi
suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
Keberagama
berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat
matrilineal, termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak
mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau
akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak
berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi
yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak
perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan
bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi
mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh
orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.
Kairo
adalah Salah satu potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para
lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif.
Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan
dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak
pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai
lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi
marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan
Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan
perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering,
perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak
adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan
oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik.
Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses
perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi
seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat
perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang
para lelaki yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti
Amr Hamzawy, telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai
sebuah prioritas. Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput
juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi
pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan
selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan
mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti
itu, memiliki banyak relawan pria.
Satu-satunya
cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah
menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam
merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya
diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan,
berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan
Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam
negara – dan berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed
Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan
adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi
perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam
kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat
Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin
patut ditiru di Mesir.
Penting
juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota
perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki
peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel
Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan
dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai
program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan
al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki
posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para
perempuan Mesir.
Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang
perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi
politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya
para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan
sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti
inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius
dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.
Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti
terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya
as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa
perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan
Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap
berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam
peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan
dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik
tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh
menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di
sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa
besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum
mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di
hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang
tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai
memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya
kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak
bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara.
Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa
Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum
berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada
otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.
Gerakan Perempuan Islam dan
Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Iran
Persoalan perjuangan hak-hak perempuan muslim (Islam
Feminis) di negara-negara mayoritas Islam, terutama di Timur Tengah dan lebih
khusus lagi di Saudi Arabia dan Republik Islam Iran dapat di jadikan ilustrasi
perbandingan dan pertentangan berkaitan dengan ungkapan-ungkapan paradoksal
yang berhubungan dengan patriarkhi keagamaan (religious patriarchy) di
era modern. Hal itu dipengaruhi oleh adanya tekanan dunia internasional dan
untuk menaikkan citra (image) pemerintahan Saudi Arabia.
Pemerintah Arab Saudi melakukan kerjasama dengan CEDAW
(the Convention on Elimination of All formsof Discrimination Againts Women)
sebagai bentuk formalitas dan hypocrit karena masih banyak penerapanyang
berindikasikan pada persyaratan yang berbasis syari’ah. Adapun resistansi
patriarkhi di Iran lebih halus, tetapi ahli hukum tradisional (traditionalist
jurisprudence) tidak mampu menyesuaikan syari’ah.
Sebagai contoh, sampai dewasa ini, Saudi Arabia
mencabut hak perempuam yang memiliki kartu identitas pribadi, hak-hak sipil dan
politik juga dicabut, bahkan persoalan perempuan menyetir mobil.
Adapun perempuan Iran bernasib lebih baik dibandingkan
dengan Arab Saudi karena mendapatkan lebih hak-hak sosial dan politiknya berupa
aktivitas dan suara-suara kaum perempuan hadir dalam tujuh parlemen (majlis);
tujuh parlemen ini sebagai tempat posisi dan kekuasaan patriarkhis, serta
menjadi benteng pertahanan atas kekuasaannya (bagi ulama Shi’ah adalah suatu
jabatan yang harus dipertahankan).30 Kondisi politik patriarkhis parlemen
menjadi hambatan paling utama bagi perjuangan feminis Islam di Iran.
Nahid Mutee mengkritisi feminis Barat mempertimbangkan
persamaan (similarity) antara perempuan dan laki-laki, tetapi sejak
kultur maskulin adalah dominan di dalam suatu sistem patriarkhi,kondisi
perempuan menjadikan sama dengan laki-laki. Tumbuhnya persamaan tersebut
berimplikasi pada revolusi nilai, seperti homo sexual, bisexual, dan keluarga
yang destruktif. Oleh karena yang diperjuangkan bagi feminis Islam, maka
pergerakan perempuan yang berbasis pada lokalitas dalamkonteks masyarakat
perempuan Iran (indigenous Iranian women’s movement), sebagaimana
pendapat Mutee.
Yogyakarta-Tiga perempuan dari Iran membagi cerita
mereka tentang perempuan, hak asasi, dan dunia Islam dengan masyarakat
Yogyakarta, Kamis (15/12). Mereka adalah Fereshteh Ruh Afza, Tahereh Nazari,
dan Shayesteh Khuy.
Mereka bukan perempuan Iran biasa. Fereshteh Ruh Afza
adalah perempuan terpilih tahun 2010 dari Presiden Republik Islam Iran serta
pengelola program TV untuk perbandingan hak-hak perempuan antara Islam dan
Barat. Tahereh Nazari adalah ketua Komite Internasional Dewan Kebudayaan Sosial
Perempuan Republik Islam Iran sekaligus sebagai direktur urusan internasional
hak asasi perempuan. Sedangkan Shayesteh Khuy merupakan seorang guru dan
pengurus divisi perempuan Pusat Konsultasi Astan-e Qods-e Razavi, Mashad,
Republik Islam Iran.
Ketiga perempuan Iran tersebut sengaja didatangkan ke
Indonesia untuk membagi cerita tentang perempuan dalam perjuangan untuk hak
asasi dalam dunia Islam. Menurut penyelenggara, ketua Raushan Fikr Institute,
AM Safwan, Indonesia patut belajar dari Iran soal hak asasi perempuan.
Iran, yang terkesan sangat fundamentalis, faktanya
merupakan negara yang sangat terbuka. Hal itu terlihat dari sistem pemerintahan
maupun hukum yang ada. Di Indonesia sebagai negara demokrasi, kata Safwan,
faktanya seorang perempuan tergantung suami dalam kasus perceraian. Juga dalam
dunia politik, Iran lebih terbuka untuk perempuan. "Selain itu, mereka
juga memperkenalkan keadilan di dunia terkait perempuan," kata Safwan pada
Republika. Safwan menambahkan, yang paling patut kita pelajari adalah kekuatan
bertahan Iran karena mampu bertahan dari tekanan Barat.
Dalam uraiannya, Fereshteh Ruh Afza lebih banyak
mengungkapkan persoalan media yang semakin lama menganggap perempuan hanya
sebatas obyek penarik bagi larisnya program-program mereka. Tareheh Nazari
lebih banyak bercerita tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam, terutama
di Iran.
Lalu Shayesteh Khuy yang seorang guru menceritakan
peran perempuan dalam kebangkitan Islam. Menurutnya, gerakan perjuangan
perempuan memiliki dua tahap, pertama saat penguasaan imperialis Barat dan
Timur pertengahan abad ke-20, dan tahap kedua adalah peristiwa revolusi Islam
di Iran oleh Khomeini. Namun, lanjut Khuy, gerakan perempuan itu melemah karena
adanya tekanan oleh pihak imperialis. [7]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan
Kesetaraan Gender di Turki
Selama beberapa dekade di Turki, Perjuangan dan
pertarungan antara kekuatan Islam dan sekuleris berlangsung sangat
keras. Sampai perlahan-lahan Erdogan memenangkan pertarungan melawan kaum
sekuleris, yang diwakili oleh militer. Bangunan sekulerisme yang
terstruktur dalam bentuk kekuasaan, dibangun oleh Kemal Attaturk, sudah
berlangsung sejak tahun 1924, bersamaan dengan keruntuhan Khilafah Otsmaniyah.
Keruntuhan Turki Otsmani itu, di formalkan oleh Jenderal Kemal Attaturk ke
dalam konstitusi, yang secara tegas menyatakan Turki sebagai negara sekuler.
Bukan negara agama. Islam tidak lagi menjadi sumber hukum bagi kehidupan bernegara.
Perjuangan pertarungan antara kalangan Islamis melawan
sekuleris, yang berlangsung selama beberapa dekade itu, baru mencapai
puncaknya, ketika Erdogan dengan Partai AKP, membangun kekuatan entitas politik
di Turki. Erdogan seperti membangun kembali puing-puing reruntuhan Khilafah
Otsmaniyah, dan mulai menampakkan wujudnya. Turki di bawah Erdogan, seorang
Muslim yang taat, kini berubah total. Sekulerisme mulai digerus, dan
nilai-nilai Islam mulai nampak temaram. Seperti yang dituturkan oleh seorang pelancong
dari Indonesia, baru saja meninggalkanTurki. Turki benar-benar berubah. Bukan
hanya kota-kota di Turki yang sangat bersih dan teratur. Tetapi, rakyat Turki
jauh lebih makmur, dibandingkan ketika masih hidup dibawah kaum sekuleris.
Ekonomi Turki terbesar keempat di Eropa, tak terpengaruh oleh krisis di zona
Eropa. Ekonominya tumbuh 5 persen, dan angka inflasi kurang dari dua digit.
Income perkapita rakyatnya, sudah diatas $ 5.000 dollar. Perdagangan dengan
negara-negara Eropa, Asia, dan Timur Tengah, terus mengalami surplus.
Sekolah, perguruan tinggi, rumah makan bagi rakyat,
transportasi, dan perumahan, semuanya disubsidi oleh pemerintah. Pelancong dari
Indonesia itu merasa senang berkunjung ke Turki. Semua kebutuhan pokok rakyat
tercukupi, tak ada yang kesulitan. Rakyat benar-benar makmur, dan aman di
Turki, sekalipun sekarang masih sering terjadi pemboman oleh kelompok separatis
Kurdi. Tetapi, Erdogan perlahan mencari solusi. Di bawah Erdogan dan Partai AKP
(Paratai Keadilan dan Pembangunan), segalanya telah berubah. Kebebasan
keagamaan diberikan seluas-luasnya oleh pemerintah. Turki yang sangat modern
dan maju ekonomi, dan kehidupan rakyatnya sudah menyamai negara-negara di
zona Eropa, kini menjadi salah satu negara yang mengenakan pajak tertinggi
di dunia terhadap alkohol dan rokok.Jadi tidak sembarangan orang bisa minum dan
merokok di Turki. Orang yang minum dan merokok, harus benar-benar orang
kantongnya tebal. Inilah cara melarang pemerintah Turki terhadap alkohol dan
rokok. Akan tetapi kontra terus bergulir, Kekuatan sekulerisme masih ada, sudah
kehilangan kekuasaannya, tetapi masih memiliki pijakan dalam konstitusi.
Sekulerisme masih memiliki akar sejarah, yang diletakkan oleh Kemal Attaturk,
dan menampakkan kegagalannya di Turki, serta mulai redup, bersamaan
dengan tumbuhnya kekuatan Islam di Turki, yang perlahan-lahan maju menggantikan
sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dikabarkan bahwa wacana
publik atas isu pemakaian jilbab mencerminkan suatu perjuangan internal
demokratis atas kebebasan individu. Seperti diketahui, mengenai masalah ini,
Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas
kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat
bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa
sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan
tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Mustafa Kemal Atatürk, pendiri The Founder Of Modern
Turkey, melihat jilbab sebagai halangan sekularisasi dan pihaknya di
modernisasi Republik Turki. Visi Ataturk belum berhasil sebab kecenderungan
agama penduduk Turki, meskipun jilbab telah dilarang di sekolah-sekolah,
universitas dan masyarakat sipil. Sebab lebih dari 60% dari perempuan Turki
menutupi kepala mereka dengan pilihannya. Tak hanya itu, para sekularis di
Turki juga khawatir terhadap Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang
berkuasa untuk kemudian menjadi gerakan keagamaan Islam yang berakar dan dapat
meningkatkan profil publik Islam akan jilbab. Tindakan AKP misalnya yang
didorong melalui RUU mencabut larangan selama puluhan tahun pada perempuan yang
mengenakan jilbab di universitas-universitas. Dan hal itu merupakan kekecewaan
dari pihak sekuler dan sebaliknya merupakan keberhasilan dan keuntungan bagi
kelas menengah yang tumbuh konservatif membentuk basis politik AKP.
Konflik internal atas jilbab di Turki menimbulkan
suatu penjajaran menarik terhadap pelarangan jilbab di Eropa. Apa artinya bila
negara yang berada diperingkat kedua terbesar mayoritas Muslim di dunia sama
seperti negara-negara Eropa lainnya, di mana umat Islam tidak hanya
minoritas tetapi sering terpinggirkan? Disebut-sebut bahwa pemakaian jilbab di
Turki dilarang dengan alasan keamanan, sebagai bentuk tindakan anti-terorisme,
dan masalah terselubung dengan isu-isu imigrasi. Di Turki, mengenakan jilbab
adalah sebuah bentuk perjuangan untuk mendefinisikan identitas. Dimana mengenai
hal sosial dan politik dari perjuangan ini yang pada akhirnya akan menentukan
masa depan yang sangat berarti bagi Turki. Hal lain yang menyedihkan yakni
Turki memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat Islam dan juga Kristen
beribadah secara formal selama 6 abad di museum yang merupakan gereja katedral
terbesar di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi masjid pada abad 15.
Pengubahan Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan tengah untuk menghindari
konflik sejarah. Ketua Asosiasi Pemuda Anatolia, Salih Turhan, mengatakan
penutupan Masjid Haghia Sophia adalah penghinaan bagi umat Islam dan merupakan
perlakuan buruk Barat. “Penutupan Masjid Hagia Sophia adalah sebuah penghinaan
dan lambang perlakuan buruk Barat terhadap Islam,” kata Turhan seperti dikutip
Reuters Ahad (3/6).
Sementara itu, Organisasi Ortodoks Dunia, The
Ecumenical Patriarchate, berharap Haghia Sophia tetap menjadi museum. “Kami
ingin Haghia Sophia tetap menjadi museum sejalan dengan prinsip-prinsip
Republik Turki,” ujar juru bicara Patriarchate, Pastor Dositheos
Anagnostopulos. Menurutnya jika Haghia Sophia kembali menjadi sebuah masjid,
umat Kristen tidak akan bisa berdo’a di sana, dan hal tersebut akan mengundang
kekacauan. [8]
Gender di
Kalangan Muslim Indonesia
Indonesia sebagai negara yang
menganut sistem demokrasi tentunya sangat menghargai setiap kehendak setiap
warga negaranya namun pada kenyataannya masih banyak kecacatan dalam masalah
sosial kemasyarakatan khususnya pada kaum wanita yang sejatinya adalah mahluk
yang mempunyai jiwa yang lembut meskipun terkadang juga ada pula yang menjadi
seorang aktivis feminis. Banyak sekali isu-isu kesetaraan gender di indonesia
sehingga persoalan ini sangat penting untuk di kaji.sejak dahulu
gerakan-gerakan perempuan menghiasi sejarah bangsa indonesia. Misalnya pada
abad ke 14 ada tiga raja islam yang pernah di pimpin kaum wanita yakni Sultahanah
Khadijah, Sultahanah Maryam dan Sultahanah Fatimah. Dalam masa kemerdekaan
perempuan ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan seperti Raden Ayu Ageng
Serang, Tjut Nyak Dien yang tetap tegar melawan kolonialisme mengusir para
penjajah meski di belit penyakit dan kebutaan begitupula Tjut Meutia yang
memimpin perlawanan dalam peperangan di Aceh. Tokoh perempuanlainnya yang turut
andil dalam pembebasan perempuan indonesia yakni R.A Kartini yang sangat gigih
memperjuagkan emansipasi wanita melawan adat,buta pendidikan,kekolotan dan
keterbelakangan kaum perempuan.
Orde lama
Sekitar tahun 1908 sebuah organisasi
yang merupakan tonggak kebangkitan indonesia memprakasi berdirinya
gerakan-geraan organisasi perempuan seperti :
1.Poetri Mardika
Organisasi ini didirikan
tahun 1912 di Jakarta. Perkumpulan ini dimaksudkan agar perempuan punya sikap
yang tegas dan tidak malu-malu. Poetry mardika pernah mengajukan mosi kepada
gubernur jendral agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama dimuka hukum.
2. Kautaman Isteri
2. Kautaman Isteri
Gerakan ini mengutamakan pendidikan dengan cara mengadakan rumah sekolah
bagi anak-anak di tasikmalaya. Dari tahun 1912-1917 dengan pengajarnya dewi
sartika.
3. Sopa Trisno
Tahun 1912 berdiri perkumpulan ini yang diprakarsai oleh Nyai Ahmad Dahlan
di Yogyakarta. Menurutnya pendidikan merupakan prasyarat utama bagi peningkatan
derajat perempuan. Perkumpulan ini yang kemudian menjadi organisasi perempuan
Muhammadiyah yaitu Aisiyah pada Tahun 1917. Sebenarnya masih banyak lagi
organisasi-organisasi perempuan yang bermunculan. Seperti pawiyatan wanito
(Magelang 1915), Purboroni (Tegal, 1917), wanito soesilo (Pemalang, 1918)
wanito Hadi (Jepara, 1919) dan lain sebagainya.[9]
Orde Baru
Setelah kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945,para perempuan Indonesia mulai masuk dalam ranah politik, sosial, pendidikan, kesehatan, dan juga industri. Dalam persoalan hak perempuan dan laki-laki sudah mulai ada hasilnya : yaitu, hak politik yang sama antara laki-laki dan perempuan setidaknya secara legal sudah di jamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakandalam sistem penggajian. Selain itu gerakan perempuan juga berhasil menempakan perempuan sebagai anggota parlemen, misalnya Maria Ulfa dan S.K Trimurti menjadi menteri pada cabinet Syahrir II (1946) dan cabinet Amir Syarifuddin (1947-1948). Pada masa orde baru pemerintah dalam salah satu kebijakannya yaitu membentuk kementrian khusus urusan perempuan. Yaitu Dharma Wanita yang dipegang langsung oleh presiden dan wakil presiden dengan Pembina utama dan isterinya sebagai penasihat utama dan PKK yang menjadi proyek menteri dalam negeri. Kepengurusan organisasi ini sesuai dengan jabatan structural sang suami di pemerintahan. Orba secara tidak langsung menolak partisipasi perempuan dalam politik, hal ini dikonstruksikan dengan paham “ibuisme” yaitu sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi dalam politik menjadi tidak layak.
Gerakan Perempuan Masa
Reformasi
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif
bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan
perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah
berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah
jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, jsutru ada
penurunan di banidng masa-masa akhir rejim orba. Namun, secara kualitatif,
peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti
yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin
terperbaiki.
Hanya saja harus tetap
diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak
secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti
nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada
jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang
lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga),
maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan
menjadi semacam komoditas. [10]
Setidaknya di bidang
perundangan, Indonesia mempunyai UU Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Trafficking, UU Partai Politik dan Pemilu, UU
Kewarganegaraan, UU Pornografi, rencana revisi UU Perkawinan, dan lain-lain.
Masa Depan Gerakan
perempuan Muslim
Dalam
paruh abad keduapuluh peranan wanita mesir mengalami eskpansi dan transpformasi
besar-besaran.kaum wanita terjun dalam seluruh lapangan kerja
kantoran,profesional,politik dan sebagainya.Revolusi 1952 mesir mengawali zaman
baru bagi kaum wanita berdasarkan komitmennya pada egaliterianisme sosial dan
posisinya yang sudah dinyatakan tentang kaum feminisme. Berkenaan dengan kaum
wanita dan isu wanita segenap hasil kebudayaan sejak 1950-an tampak masuk dalam
dua fase.pertama di tandai feminisme yang semarak dengan menemukan ekspresi
dalam berbagai aktifitas organisasi dan dalam bentuk karya sastra yang
menunjuan kesadaran kritis atas politik dominasi lai-lakidalam bidang psiologi
dan bidang-bidang lain yang belum di eksplorasi sebelumnya.sementara feminisme-feminisme
pertama abad itu memusatkan diri mereka terutama untuk memusatan pada
etida-adilan yang terbuka dan di setujui secara formal atau aum wanita yang di
lindungi hukum dan dalam praktik-praktik sosial yang di terima pada tahun
1960-an dan 1970-an,selain meneruskkan upaya melembagakan dalam hukum-hukum
status personal ( perkawinan ) kaum wanita kini mulai menampakan agresi dan
manipulasi terbuka dan resmi,baik psikkologi maupun fisikyang kepadanya tunduk
dan bergelut dalam isu-isu tabu semisal ontrasepsi dan klitoridektomi.
Dalam wacana “feminisme” kolonial
ini lah muncul untuk pertama kalinya pandangan bahwa ada suatu hubungan
intrinsik antara isu-isu kebudayaan dan status kaum wanita khususnya bahwa
kemajuan kaum wanita bisa di capai hanya dengan dengan meninggalkan kebudayaan
pribumi gagasan itu adalah produk dari histori momen tertentu.[11] Wacana
gerakan perempuan sejatinya lebih kepada menjaga martabat perempuan itu sendiri
melalui peran agam dan negara sehingga perlu penyesuaian yang efektif untuk menangani
isu-isu gender yang masih banyak di perbincangkan di masyarakat.penegakan hukum
serta peran masyarakat untuk menjaga kehormatan perempuan tentu pula harus di
dorong bersamaan dengan kemjuan zaman.dalam hal ini agama islam tentunya
melalui pperan para ulama serta tokoh agama harus memahami serta menjadi
penegak hukum pertama yang ada di masyarakat karena sejatinya perempuan untuk
di kasihi bukan di sakiti.
[1] . John echols dan hasan shadily, kamus inggris indonesia ( jakarta : Gramedia, 1995 ) 265 dan lihat M.dahlan
al-barry, kamus modern bahasa indonesia
( yogyakarta : arloka 1994 ), hlm 170
[2] . victoria neufeldt (ed)
webters’s new word dicionary (new
york : webster’s new word clvenland 1984)
hlm 33-34
[3] . Qaim Amin, sejarah penindasan perempuan , ( yogyakarta
Ircisod, 2003 ), hlm74
[4] . Husein Muhammad,fiqh perempuan,refleksi kiai atas wacana agama dan
gender (yogyakarta: Lkis 2002) hlm 20
[5] .
Ali shodiqin, “nafkah dalam hadis”
dalam marhumah (ed) membina keluarga
mawaddah wa rahmah dalam bingkai sunnah nabi, ( yogyakarta : PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Tthe Ford Fondation, 2003 ) hlm 182
[6] . Fatima
Mernisi “ Islam an democracy fear of the
modern world ” ( terjemahan ) ( yogyakarta, LkiS 1994 ) hlm 4
[7] . Diakses pada 19 Maret 2016 dari http://ahmadsyafiq881.blogspot.co.id/2013/11/relasi-gender-mesir-iran-turki.html
[8] . Diakses pada 19 Maret
2016 dari http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/eksistensi-islam-di-tengah-sekulerisme-turki.htm.
[10] . Diakses pada 23 Maret
2016 dari http://serbasejarah.blogspot.co.id/2011/03/gerakan-perempuan-di-indonesia.html
[11] . Ahmed
Leila Wanita dan Gender dalam Islam :
akar-akar historis perdebatan modern ( Jakarta, Lentera 2000 ) hlm 289
0 komentar:
Posting Komentar