Kamis, 02 Juni 2016

Senin, 30 Mei 2016



Nama                           : Siti Faridah
NIM                            : 1113034000133
/Prodi/Smester              : Tafsir hadis/VI
Tugas                           : Resensi Buku




“Menggugat Tuhan yang Maskulin”
Penulis : Dr Kaukab Siddique (Diterjemahkan oleh Arif Maftuhin)
Penerbit : Paramadina
Jumlah Halaman : 181 dengan dimensi buku 14,5x20,7x1,3 cm
Tahun terbit : 2002

Buku yang berjudul Menggugat Tuhan yang Maskulin ini sangat menggelitik dan menarik untuk dibaca. Buku ini berbicara tentang gugatan penulis terhadap pernyataan-pernyataan Ulama Kaum muslim atau dari kalangan manapun yang dianggap male-oriented yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Paparan yang disajikan dalam buku ini cukup berani dan sangat tegas dalam menanggapi pernyataan itu. Penulis memaparkan bagaimana seharusnya memahami ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadis yang sering digunakan dalil oleh kaum muslimin dalam penempatan perempuan dan kedudukan serta tugasnya, dengan tegas penulis menyalahkan beberapa ulama yang pendapatnya berbeda dengan penulis yang dianggap menindas dan menjadi budak sejarah dalam memahami suatu dalil. Dikatakan sangat berani karena ada beberapa tema pembahasan yang sangat berani dan sangat berbeda dengan para ulama dikalangan kaum Muslim bahkan ulama klasik yang dianggap kredibel dalam menafsirkan ayat atau mensyarahi hadis, seperti membolehkan perempuan untuk menjadi imam shalat, terlepas dari makmumnya laki-laki atau perempuan. Disana juga dibahas bahwa Wahyu turun pula kepada perempuan, peremuan sangat bisa menjadi pemimpin negara, perempuan berkarir adalah hak yang sangat harus dijunjung tinggi dan lain sebagainya yang semuanya itu dibuktikan dengan dalil dan fakta sejarah.
Dalam buku ini akhirnya terungkap bagaimana islam sangat memuliakan perempuan, dengan penjelasan dalil yang sangat rinci dan mudah difahami ini menjadi sisi kelebihan tersendiri.
Namun, penulis terkesan emosi dalam tulisannya dan banyak mengeneralisir. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang menjunjung perempuan, ada ayat yang menjunjung laki-laki, dan ada pula ayat yang menyetarakan keduanya. Posisi-posisi ini justru ada sisi dimana laki-laki dan perempuan dibedakan kedudukannya, disisi lain ada pula yang disetarakan, inilah keadilan Islam. Hal ini yang tidak ada pada bahasan buku ini, Disinilah akhirnya perlu ada penelitian lebih lanjut terhadap tulisan Dr. Tsauqib Sidiique.

Kamis, 26 Mei 2016

RELASI GENDER DALAM YAHUDI


RELASI GENDER DALAM YAHUDI





Disusun Oleh :

NASRULLOH      1113034000037
RINDI ATIKA    1113034000



PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa era sekarang ini kedalam era globalisa. Hal ini bisa dilihat adanya perubahan-perubahan yang sangat fundamental disemua sektor kehidupan dari sosial hingga politik. Diantaranya lahirnya “knowladge society” yang ditandai dengan dominasi otoritas ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia dan global village yang memperkecil makna ruang, waktu, tempat dan jarak interaksi antar individu. Selain itu, adanya penempatan posisi yang sama dalam fungsi dan peran perempuan yang ada dalam masyarakat kita yang diungkit-ungkit sebagai persamaan gender.
Sekarang ini hal itu telah menjadi perbincangan penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis.[1] Hal itu dipengaruhi oleh pemahaman tehadap teks-teks keagamaan yang tidak berspektif gender. Kesadaran masyarakat atas doktrin-doktrin agama yang telah mengakar kuat belum bisa beranjak dari sikap diskriminatif perempuan. Banyak teks-teks agama yang timpang gender karena pemahaman teks secara tekstual.[2]
     
diskursus permasalahan kesetaraan gender ternyata tidak hanya diperbincangkan dalam agam islam saja tetapi juga dalam agama Yahudi. Hal ini karena adanya sikap subordinasi perempuan atas laki-laki.  Dalam tataran kehidupan sosial dikalangan orang yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya jika perbuatan itu dilakukan oleh perempuan lantas hal itu dipertanyakan terlebih dahulu seakan akan ada kesalahan didalamnya.


















BAB II
RELASI GENDER DALAM AGAMA YAHUDI
A.    BIAS JENDER DALAM TALMUD
Doktrin tentang kesetaraan gender sebenarnya sudah diungkapkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang menjadi fondasi utama bagi umat Kristiani-Yahudi, baik secara eksplisit mau pun implisit. Seperti yang tertulis dalam perjanjian lama dalam Kitab Kejadian 1:27 tentang penciptaan yang menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dalam image (rupa) Tuhan, yang berbunyi “maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki danperempuan diciptakan-Nya mereka”.[3]dan disebutkan pula dalam Injil. Dan al Kitab dengan tegas mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kesempatan untuk menebus dosa dan keselamatan. Doa-doa yang dipanjatkan baik laki-laki maupun perempuan akan dikabulkan.
Dalam tradisi Yahudi, perempuan disatu sisi digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan seperti Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan.
Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya atau kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya.
Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran.
Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini.[4] Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.[5]
Dalam Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar: bahwa laki-laki dan wanita adalah ciptaan Tuhan, Pencipta alam semesta. Tetapi, silang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama Adam, dan wanita pertama, Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal penciptaan Adam & Hawa diuraikan secara rinci bahwa Tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk Hawa untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakkan kesalahan semua kepada Hawa: "Wanita yang kau berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya." Akibatnya Tuhan berkata kepada Hawa: "Saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada waktu kamu melahirkan.Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu."
Kepada Adam, Tuhan berfirman: "Karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan isterimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut...saya turunkan kamu kebumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang adadibumi sampai kamu mati..."
Para Pendeta Yahudi telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam & Hawa, diantranya
1.      beban berupa darah menstruasi
2.      darah keperawanan
3.      kehamilan
4.      kelahiran
5.      membesarkan anak
6.      menutup kepala ketika berkabung
7.      menjadi budak yang melayani tuannya
8.      tidak dipercaya kesaksiannya dan
9.      kematian.
Hingga saat ini, orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali berdo'a mengatakan, "Terimakasih Kepada Tuhan, Raja Alam Semesta, karena tidak  menjadikan kami seorang wanita".
B.     CITRA PEREMPUAN DALAM TRADISI YAHUDI
Perempuan dalam pandangan agama yahudi tidak tidak jauh beda denagn perempuan dikalangan agama Kristen. Karena keduanya memilki kesamaan kitab suci, hanya saja Yahudi memngakui keberadaan perjanjian baru sebagai bagina dari kitab suci mereka. Berikut beberapa hal yag berkaitan dengan pandangan Yahudi terhadap perempuan.
1.      Kedudukan perempuan dalam agama Yahudi
Sebagaimana Kristen dalam memandang kaum perempuan sebagai sumber dosa Yahudi juga menganut hal itu. Dialah yang menyebabkan adam dihukum dan diusir dari surga, selain itu gejala-gejala kewanitaan yang dialami perempuan normal merupakan sebuah kutukan. Para pendeta Yahudi menulis 9 kutukan yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.[6]
Kedudukan perempuan yang rendah ini juga bisa dilihat ketika orang laki-laki Yahudi berdoa “terpujilah Tuhan yang tidak menciptakanku sebagai seorang perempuan.” Hal ini telah berkembang hampir di semua lapisan masyarakat Yahudi. Agustinus berpendapt bahwa peran wanita hanya melahirkan. Pendapat lebih merendahkan disampaikan oleh St. Tomas Aquinas. Mereka memandang perempuan sebagai orang yang tidak sempurna.[7]
2.      Perempuan dan Perzinaan
Salah satu bentuk kezaliman Yahudi terhadap perempuan ialah adanya perzinahan. Definisi zina memnurut kalangan Yahudi ialah hubungan badan layaknya suami istri yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang sudah menikah. Menurut mereka hubungan badan dengan wanita yang belum nikah tidak dikatakan perzinaan meskipun pihak laki-laki sudah menikah. Dalam pandangan Yahudi, istri dianggap milik suami, jadi jika ada laki-laki yang berhunungan dengan wanita single tidak apa-apa anaknnya dianggap sah, sedanga wanita yang sudah menikah dan berselingkuh maka anaknya tidak dianggap sah, bahkan mereka juga dipandang haram.[8]
3.      Nazar
Ialah janji seseorang atas dirinya sendiri untuk melakukan ibadah kepada Tuhan (Allah) yang pada dasarnya tidak wajib ketika tidak bernazar.[9] Dalam ajaran Yahudi seorang ayah memiliki hak mutlak dalam nazar anak perempuannya begitu pula dengan suami memiliki hak yang sama seperti ayah dimana mereka bolah membatalkan nazar yang telah dilakukan oleh anak atau istri mereka.[10]
4.       Hak milik istri
Dalam ajaran Yahudi, seorang istri disamakan dengan budakyang nantinya akan berimplikasi pada hak kepemilikan seorang perempuan. Setelah pernikahan, seluruh harta yang dimiliki istri berubah menjadi milik suami. Seorang istri yang bekerja maka penghasilannya untuk suami sebagai balasan atas pemeliharaan dirinya yang menjadi kewajiban suami. Tidak hanya kepemilikan yang hilang setelah pernikahan, mahar dalam ajaran Yahudi menjadi beban seorang wanita. Sehingga seorang perempuan merupakan beban keluarga. Hak milik istri menjadi miliknya ketika cerai atau suami meninggal.
5.      Poligami
Poligami secara hukum agama Yahudi dibolehkan. Sebagaimana praktek poligami yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Hal ini seperti yang dilakukan oleh pembesar Yahudi antara lain king Salomon memiliki 700 istri dan 300 wanita simpanan.[11] Kisah Sulaiman yang memiliki istri yang banyak juga dibenar Nabi SAW.
عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ لأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى مِئَةِ امْرَأَةٍ ، أَوْ تِسْعٍ وَتِسْعِينَ كُلُّهُنَّ يَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ.
Artinya:
“Dari Rasulullah SAW, ia bersabda: Sulaiman bin Dawud ‘alaihima salam’ berkata, ‘Sungguh aku akan berkeliling kepada seratus atau sembilan puluh sembilan istriku dalam satu malam, semuanya akan melahirkan seorang prajurit pasukan kuda yang akan berjihad di jalan Allah. ‘seorang sahabatnya menyahutinya, ‘insyaAllah.’ Tapi Sulaiman tidak mengucapkan insyaAllah. Maka tak seorang pun di antara mereka yang hamil kecuali seorang saja yang melahirkan setengah laki-laki. Demi Dzat yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya dia mengatakan InsyaAllah, niscaya semuanya (akan melahirkan) para penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah.”(HR. al Bukhari)
Dari sini bisa diketahui bahwa poligami telah ada dalam syari’at terdahulu. Dan tatkala Allah mengutus Nabi Musa ‘alaihi salam maka dia menyetujui tanpa membatasi jumlah perempuan yang ingin dinikahi oleh seorang laki-laki, sampai kemudian Bani Talmud mengeluarkan ketetapan pembatasan poligami. Sebagian ulama Bani Israil ada yang melarang poligami tetapi sebagian yang lain membolehkan dengan alasan: apabila istri sakit, mandul atau demi menghindari penghianatan dan sebagainya. Dalam kitab Talmud yang ada di tangan kaum Yahudi membolehkan poligami, akan tetapi Talmud membatasi dengan jumlah dan batasan tertentu.[12]
Larangan poligami dalam ajaran Yahudi adalah mengambil saudara kandung istri. Hal ini sebagaimana tertera dalam Taurat. “Janganlah kau ambil seorang perempuam sebagai madu kakanya untuk menyingkap auratnya di samping kakaknya selama kakaknya masih hidup”.[13]
Pada abad-abad pertengahan, Yahudi masih melakukan poligami dengan banyak istri sampai kemudian para rahib mereka melarang poligami. Hal ini karena kondisi ekonomi yang berat dihadapi oleh kaum Yahudi pada masa-masa tersebut. Larangan poligami tersebut dikeluarkan pada abad XI dan kemudian disahkan perhimpunan gereja di kota Warms di Jerman. Larangan ini pada mulanya hanya bagi kaum Yahudi di Jerman dan Yahudi Perancis Utara, tapi kemudian mencakup semua kaum Yahudi di dataran Eropa. Setelah itu mulailah undang-undang perdata kaum Yahudi melarang poligami, bahkan seorang suami diharuskan untuk bersumpah ketika melaksanakan akad nikah, bahwa jika seorang suami hendak mengawini orang lain, maka dia terlebih dahulu harus menceraikan istrinya yang pertama dan ia wajib membayar semua hak-hak istri, kecuali istri pertamanya mengizinkannya untuk kawin lagi, itu pun dengan syarat dia harus mampu memberi nafkah kedua istri dan mampu berbuat adil di antara keduanya, dan poligami ini harus memiliki legalitas hukum yang sah, seperti mandulnya istri pertama.[14]
6.      Perceraian
Dalam kalangan Yahudi pintu perceraian sangat terbuka lebar dengan alasan apapun.[15] Para sarjana Yahudi berbeda pendapat tentang alasan bolehnya suami menceraikan istri. Madzab Syammai berpendapat bahwa seorang laki-laki seharusnya tidak menceraikan istrinya jika dia tidak mendapatkan istrinya melakukan kejahatan seksual. Sementara Hillel mengatakan bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan istrinya meskipun Cuma karena istrinya tidak bisa menyajikan makan. Rabi Akiba mengatakan bahwa laki-laki boleh menceraikan istrinya meskipun cuma karena dia menemukan perempuan yang lebih cantik dari padanya.
Istri tidak bisa berinisiatif untuk bercerai berdasarkan hukum Yahudi, tetapi istri dapat mengklaim hak untuk bercerai dipengadilan yahudi jika ada alasan yang kuat. Tetapi kendali cerai tetap ditangan suami. Mereka bisa meninggalkan istri dan hidup dengan wanita lain dan memiliki anak. Sedang perempuan tidak bisa.
7.       Hak Waris
Dalam agama Yahudi menyatakan bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain.hal ini karena tradisi yang terus menerus dan tidak terputus-putus sejak masa Bible adalah tidak memberikan hak pewarisan atas kekayaan keluarga kepada anggota keluarga yang perempuan, istri dan anak-anak mereka yang perempuan. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan. Dalam skema pewarisan yang lebih primitive, anggota-anggota keluarga yang perempuan dianggap sebagai bagian kekayaan dan seperti layaknya budak dia secara hukum tidak memiliki hak waris sementara dalam ketentuan pelaksanaan Musa, anak perempuan diakui hak warisnya pada saat tidak ada anak laki-laki dalam keadaan seperti itu, seorang istri tetap tidak diakui sebagai pewaris.
Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil. Ia tidak berhak membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya. Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.[16]
Sementara dalam buku Fundamentalism and Woman in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharma dan Katherine K. Young, dijelaskan: As we shall see, women’s roles are a profound symbol of the extent to which Jewish societies accept—or reject—modernity and Westernization. (Seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak--modernitas dan westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.[17]
Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami peran fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi. Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh masyarakat).
Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dan martabat perempuan.[18]
Peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak--modernitas dan westernisasi, artinya dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.
C.     TEOLOGI FEMINIS DAN REKONSTRUKSI PERAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT YAHUDI
Berbicara mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe, marjinalisasi,diskriminasi, tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Gerakan mistik Yahudi abad pertengahan disebut dengan Kabbalah, gerakan ini menekankan suatu aspek yang bersifat perempuan dalam ketuhanan. Selain Kabbalah terdapat juga gerakan Haidisme, kedua gerakan ini tidak memberikan perempuan ruang untuk bergerak dan maju baik dalam bidang keagamaan maupun kenegaraan. Pada tahun 1846 yahudi reformasi mengadakan konferensi Breslau, ini bertujuan untuk menjadikan perempuan setara dalam bidang keagamaan, namun hanya mendapat perhatian yang kecil bahkan dari kalangannya sendiri.
Salah satu tokoh yaitu Henrietta Szold perempuan yang mandiri pendiri organisasi medis Hadassah, pemikirannya membatasi perempuan dalam bidang domestik. Dan Rabbi Isaac Mayer selalu mencoba mendorong perempuan untuk maju dan berpartisipasi dalam sekolahnya namun tak ada satupun perempuan yang mendapat pentahbisan. Isu ini baru muncul kembali pada tahun 1921 dan banyak perempuan yang menyelesaikan studinya. Yang diakui menjadi Rabbi Umansky, salah satunya yaitu Sally Priesand pada tahun 1972.
    Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki  dan kaum perempuan  adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.[19]

        Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita.

        Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty sendiri mulanya terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tahun 1921 kemudian berkembang menjadi aktifis feminis Yahudi Amerika pada tahun 1960-an. Puncak momuntumnya terjadi ketika ia telah berhasil mengarang buku “The Feminine Mystique” yang dikemudian hari menjadi buku rujukan kaum Feminis. Dimana dalam bukunya ia mengkritik habis peran ibu rumah tangga yang mengekang kesehariannya hanya didalam rumah saja yang sangat terkekang dan jauh dari pengahargaan terhadap hak bagi seorang wanita sebagai bandingannya ia menggambarkan peran wanita dalam masyarakat industry. Lama-kelamaan bukunnya pun terjual laris. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai “kitab suci” bagi kaum wanita.
Teori yang sangat terkenal sekali darinya ialah apa yang disebut dengan istilah Androgini. Androgini ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminim pada saat bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa yunani yaitu anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi. Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik;













BAB III
KESIMPULAN
Perdebatan tentang gender Banyak tokoh yang memiliki asumsi berbeda satu sama lain, karena sumber pengetahuan mereka pun berbeda, maka ketika menyikapi hal ini kita tidak bisa hanya merujuk satu sumber tokoh saja, harus juga dibandingkan atau bahkan  dicocokkan dengan sumber yang lain agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Dalam tradisi Yahudi, masalah gender ini adalah sesuatu hal yang masih diperbincangkan, karena memang gender ini adalah masalah social antara laki-laki dengan perempuan. Sebenarnya kalau kita lihat dari sisi social, tidak ada perebedaan antara keduanya, namun ada hal lain yang menjadikan adanya perebedaan di antara keduanya baik dari sisi peran, fungsi dan kedudukan.
Pada intinya, penulis menyimpulkan bahwa relasi gender dalam Yahudi ini masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, dan juga masih banyak hal yang penulis belum ketahui, akan tetapi bisa dinyatakan bahwa gender dalam tradisi Yahudi memandang perempuan sebagai makhluk Tuhan yang baik, patuh, dan memiliki kemampuan luar biasa.


[1]Siti Zubaedah. Mengurai Problematika Gender dan Agama. (Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi Gender: STAIN Purwokerto)
[2]Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Pustaka Pelajar: Yogyakarta), 2002
[3] Al Kitab Perjanjian Lama (Lembaga Alkitab Indonesia: Jakarta) 2013
[4] Dikutip dari makalah diskusi gender dala agama katolik, UII Pusat Studi Islam
[5] Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan gender Perspektif al Qur’an. Bandung: Mizan, 1999
[6] Islam tidak Islam tidak mengenal dosa warisan sebagaimana pandangan Yahudi dan Kristen yang mengatakan bahwa perempuan mewarisi dosa Hawa. Pandangan Islam tentang perempuan ini berimplikasi pada penetapan hak dan kewajiban. Ia memuliakan perempuan dengan memberikan hak-hak asasi mereka. Hak-hak itu antara lain; hak waris al Nisa:7, hak hidup al Isra’: 31, dan hak kepemilikan al Nisa:32
[7] Bunyi pandangan St. Thomas Aquinas yang dikutip Sherif sebagai berikut “mengenai sifat alami individu, perempuan itu kurang sempurna dan tidak murni, karena daya hidup dan benih laki-laki cenderung untuk menghasilkan keturunan laki-laki yang sempurna. Sedangkan keturunan perempuan berasal dari suatu kekurangan dalam daya hidup atau dari beberapa bahan yang kurang sehat atau bahkan dari beberapa pengaruh luar.” Sherif Abdel Azeem, Sabda Langit
[8] Sherif Abdel Azeem, 2001, SabdaLangit,  Yogyakarta: Gama Media, Cet 1
[9] Abu Bakar Jabir Al-Jaa’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim, Surakarta: Insan Kamil, 2009, Cet Pertama
[10] Tafsiran Alkitab Wyliffe, Malang: Gandum Mas, 2007, Vol I, Cet ke-2
[11] Taurat (perjanjian lama): raja-raja 1
[12] Karam Hilmi Farhat, , Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani & Yahudi, Jakarta: Darul Haq, 2007, Cet pertama
[13] Taurat (perjanjian lama): imamat
[14] Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan
[15] “jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tidak membahagiakannya karena dia merasa ada sesuatu yang tidak cocok padanya, dan sang suami menulis surat cerai, dan memberikan padanya dan mengeluarkannya dari rumahnya, dan kelak setelah dia meninggalkan rumahnya dia menjadi istri-istri lain, dan suaminya yang kedua membencinya dan menulis surat perceraian, dan memberikannya kepadanya dan mengeluarkannya dari rumahnya, atau jika dia (suami) mati, maka suaminya yang pertama, yang menceraikannya, tidak diijinkan untuk menikahinya lagi setelah dia menjadi kotor.”

[16] Muki Ali, Agama-Agama Dunia, IAIN Sunan Klijaga Pres: Jakarta
[17] Arvid Sharma dan Katherin Fundamentalism and Women in Religions, New York 2008
[18] Siti Zubaidah, Mengurai Problematika Gender dalam Agama, Jurnal Studi Gender dan Anak Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
[19] Erich Fromm, Cinta Seksualitas dan Matriarki (Jalasutra: Jakarta dan Bandung), 2007