Disusun
Oleh:
Arjuna
Ahmad 1112034000199
Siti
Rodiah 1113034000003
A.
Ketidaksetaraan Gender Dalam Tradisi Dan Teks-Teks Hindu
Pengertian
gender dalam agama Hindu adalah hubungan sosial yang membedakan perilaku antara
perempuan secara proposional menyangkut moral, etika, dan budaya, dan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berperan dan bertindak
sesuai ketentuan sosial, moral, etika, dan budaya di mana mereka berada.
Dalam Hindu, gerakan
keadilan dan kesetaraan semestinya diaplikasikan, di implementasikan dalam
kehidupan sehari-hari yang dibarengi dengan budaya dan tradisi yang bermoral
yang berdasarkan Dharma. Tradisi-tradisi yang tidak bersesuaian dengan
kaidah agama hendaknya mulai dikikis perlahan-lahan menuju kearah kaidah agama
yang hakiki, sebab tidak ada sedikit pun ruang gerak manusia yang terlepas dari
hukum agama yang diyakini.
Karena diyakini bahwa
Manawa dharma sastra adalah satu-satunya kitab hukum yang mengatur kehidupan
universal yang digunakan sebagai hukum Hindu hingga saat ini, maka akan
bercermin pada hukum ini;
“Yatra naryastu pujyante
Ramante tatra dewatah
Yatraitastu na pujyante
Sarwastalah kriyah”
Artinya:
Dimana wanita di hormati,
disana ada kebahagiaan dan kesejahteraan, dan dimana wanita tidak di hormati
tidak ada pekerjaan yang menghasilkan. [Manawa dharma sastra.III. 55.[1]
Bila ayat ini menjadi
rujukan dalam sebuah tatanan hidup dimasyarakat maka apa yang disebut bias
gender tidak perlu di khawatirkan, dimana perempuan mempunyai tempat yang mau
tidak mau wajib di hormati oleh siapa pun. Semestinya ayat ini menjadi rujukan tata
hukum suatu negara dalam setiap menentukan kebijakan.
Di
masa lalu, Syari’at agama hindu menegaskan bahwa wanita tidak mempunyai hak
untuk bebas dari ayahnya, suaminya dan anaknya. Jika mereka mninggal, maka
wanita harus menggabungkan dirinya dengan seorang laki-laki dari keluarga
suaminya dan ia pun terkungkung seumur hidup. Bahkan, wanita dalam agama hindu
tidak mempunyai hak untuk hidup sepeninggal suaminya. Ia harus membakar dirinya
hidup-hidup bersamaan dengan jenazah suaminya. Tradisi ini berlaku terus
menerus hingga abad ke-17, kemudian dihapus paksa tanpa persetujuan ulama-ulama
agama hindu.[2]
Wanita
dalam agama Hindu terkadang juga disembelih sebagai kurban kepada tuhan-tuhan
mereka, agar tuhannya merestui kehidupan mereka, memberikan hujan dan rezeki
kepada mereka. Bahkan, beberapa daerah di India pada zaman purba mengagungkan
pohon dengan cara menyuguhkan wanita setiap tahun untuk makanannya.
Dalam Syari’atnya, agama hindu
menyatakan bahwa: “Kesabaran yang dipaksakan, angin yang jahat, maut, neraka,
ular berbisa dan api tidaklah lebih jahat dari wanita”.[3]
Bali
merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Hindu. Peran wanita di Bali harus menjalankan tiga peran dalam kehidupannya,
yaitu peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Bahkan, sistem
pewarisan di Bali menjadi kondisi yang sama sekali tidak memberikan keadilan
kepada kaum wanita karena tidak memperoleh bekal atau modal sebagai sumber daya
pribadinya untuk dapat mengembangkan potensi diri.[4]
Disamping itu, ketidakadilan gender
juga terjadi dalam hal pendidikan wanita di Bali. Penduduk Hindu di Bali lebih
mengutamakan pendidikan anak laki-laki yang merupakan penerus keturunan
keluarga. Dan menganggap sia-sia jika menyekolahkan anak perempuan ke jenjang
yang lebih tinggi, karena nantinya ia akan berpisah dengan keluarga asal atau
ikut bersama pihak keluarga suami. Behrman (Megawangi, 1999) menyatakan adanya
alokasi sumber daya keluarga dengan model investasi murni yang berlaku pada
keluarga miskin, sehingga sumber daya yang ada akan dialokasikan pada sector
yang paling menguntungkan. Dimana anak laki-laki mendapatkan prioritas utama
agar nantinya dapat membantu penghasilan keluarga jika telah bekerja. Akibat
keterbatasan materi, maka pendidikan anak perempuan akan menjadi prioritas
kedua karena nantinya akan bergantung kepada pihak suami.[5]
Disebutkan pula bahwa terdapat konsep
purusa (laki-laki) yang bersifat kepahlawanan untuk kejayaan kitab suci
Veda dan kesejahteraan semua makhluk. Merujuk kepada hal tersebut, terlihat
bahwa konsep purusa (laki-laki) dipengaruhi oleh agama Hindu dan
dianggap hal utama bagi terciptanya harmoni bagi semua makhluk.
Untuk menempati posisi dihormati, perempuan memiliki tanggung jawab menjaga etika dan moralnya sendiri karena apabila perempuan
itu jatuh moralnya, berakibat pada penderitaan dan kehancuran.[6]
“Panam durjana samsargah
Patya ca wirako’tanam,
Swapno,nya geha wasacca
Narisamdursanani sat”.
Artinya:
Meminum minuman keras,
bergaul dengan orang-orang jahat, berpisah dari suami, tidur pada jam-jam tidak layak, mengembara keluar daerah, berdiam di rumah
laki-laki lain adalah enam sebab jatuhnya seorang wanita yang menyebabkan
kehancuran. [ Manawa Dharma sastra IX.13.]
Sebagai etika moral
dijelaskan dalam ayat ini yang membatasi prilaku seorang perempuan dalam
menjaga kehormatannya dalam ruang sosial masyarakat bukan aturan yang bersifat
memaksa yang mau tidak mau harus ditaati oleh seorang perempuan. Tetapi ayat
diatas memberikan ruang untuk memilih dalam tatanan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya untuk menjadi terhormat dan mulia atau perempuan yang jatuh,
terhina dan hancur. Artinya bahwa peran
laki-laki dalam menjaga moral perempuan menurut ayat ini bersifat pasif yang
mana kewenangan dalam menempatkan jati diri seorang perempuan ada pada dirinya
sendiri. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa paham kesetaraan dan
keadilan sesungguhnya telah menjadi budaya Hindu sejak lahirnya.
Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa semestinya aturan
adat menunjang pelaksanaan kaidah-kaidah dan hukum agama, agar kehidupan
beragama jadi lebih toleran dan menjamin kebahagiaan lahir maupun batin
pemeluknya, bukan sebaliknya. Jika tidak, aturan adat yang membelenggu
kehidupan masyarakatnya secara perlahan-lahan akan menjadi bumerang dan
ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.[7]
B.
Relasi Kuasa Dewa-Dewa Dan Dewi-Dewi
Dewa
dan dewi adalah kekuatan supranatural yang menguasai unsur alam atau
aspek-aspek tertentudalam kehidupan Umat Hindu. mereka dianggap suci dan keramat
sehingga disembah dan dihormati.[8]
Sama halnya dengan, dewa-dewa pun
memiliki istri yang kita kenal dalam istilah dewi-dewi atau sakti. Dewa Wisnu
mempunyai istri Dewi Laksmi, Dewa Shiwa beristri Dewi Durgana dan Dewi Uma.
Mereka semua memiliki tugas dan kekuasaan
masing-masing seperti Dewa Wisnu yang bergelar sebagai “shtiti” (pemelihara)
yang bertugas memelihara dan melindungi semua ciptaan Tuhan (Brahman). Sedangkan
Dewi Laksmi adalah dewi kekayaan, kesuburan,
kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keadilan dan kebijaksanaan. Dewi Laksmi juga
dikenal Dewi Uang dan Widya (pengetahuan), karena Beliau juga Dewi pengetahuan
keagamaan. Beliau juga dihubungkan dengan setiap kebahagiaan yang terjadi di
antara keluarga dan sahabat, perkawinan, anak-anak, kekayaan, dan kesehatan,
sehingga menjadikannya Dewi yang sangat terkenal di kalangan umat Hindu.
Selanjutnya,
Dalam agama Hindu, Dewi Durga (Betari Durga) adalah ibu dari Dewa Ganesa dan
Dewa Kumara (Kartikeya). Beliau kadangkala disebut Uma atau Parwati. Dewi Durga
biasanya digambarkan sebagai seorang wanita cantik berkulit kuning yang
mengendarai seekor harimau. Beliau memiliki banyak tangan dan memegang banyak
tangan dengan posisi mudra, gerak tangan yang sakral yang biasanya dilakukan
oleh para pendeta Hindu.
Di
Nusantara, Dewi ini cukup dikenal melalui Candi Prambanan di Jawa Tengah yang
juga dipersembahkan kepada Dewi ini. Pertiwi ( adalah
Dewi dalam agama Hindu dan juga "Ibu Bumi" (atau dalam
bahasa Indonesia "Ibu Pertiwi"). Sebagai pr›thivi mata "Ibu Pertiwi" merupakan lawan
daripada “dyaus
pita "Bapak Angkasa". Dalam Rgveda, Bumi dan Langit
seringkali disapa sebagai pasangan, mungkin hal ini menekankan gagasan akan dua
paruh yang saling melengkapi satu sama lain.[9]
C.
Gender, Sistem Kasta Dan Masyarakat Yang Seksis
Agama
Hindu yang masuk ke Bali telah mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat
Bali. Konsep yang terlihat jelas adalah konsep kasta yang menyebabkan adanya
pembagian masyarakat berdasarkan kasta (Lansing, 1995: 27). Peraturan mengenai
kasta tersebut mempengaruhi adanya peraturan pernikahan antarkasta.[10]
Bali merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang menganut sistem patriaki. Dalam Panetje (1986: 39) dijelaskan
bahwa hukum kekeluargaan di Bali berdasarkan patriarchaat (patriarkat)
yaitu hubungan seorang anak dengan keluarga bapaknya adalah dasar tunggal bagi
keluarganya. Keluarga dari bapak adalah hal yang paling penting. Oleh karena
itu, Menurut Panetje, keluarga dari pihak laki-laki mendapat perhatian lebih
dulu dibandingkan dengan keluarga ibu.
Masyarakat Bali mengadopsi sistem kasta dari
India sebagai bagian dari agama Hindu. Masyarakat dibagi ke dalam empat kasta
yaitu brahmana, ksatria, vaisya, dan sudra. Empat kasta ini satu sama lain
sangat terpisah. Seseorang masuk salah satu kasta itu hanya karena keturunan
melalui garis pancar laki-laki (purusa). Namun, kasta tatanan masyarakat
hindu mulai digoncang pada abad ke-20 karena adanya pengaruh kolonial belanda.[11]
Panetje (1986: 21-22) menyebutkan
bahwa empat sekte diatas juga memiliki ketentuan hukum adat dalam pernikahan
sebagaimana yang telah ditetapkan pada tahun 1910. Pernikahan seorang laki-laki
dengan perempuan yang berkasta lebih rendah merupakan
sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman pembuangan bagi
laki-laki dan perempuan. Pernikahan yang terjadi antara seorang laki-laki
dengan perempuan yang berkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran,
sehingga laki-laki harus membayar denda. Menurut Panetje, pada zaman kerajaan
Bali pelanggaran tersebut dapat menyebabkan kedua mempelai dibunuh atas
perintah raja. Dalam kedua pernikahan tersebut si istri turun kasta menyamai
kasta suaminya.
Pada tahun 1951 dengan peraturan
Gubernur kepala Daerah Bali, peraturan diatas dihapuskan (Panetje, 1986: 22). Kini
pernikahan campuran diperbolehkan tanpa hukuman apapun. Akan tetapi, turun
kasta bagi si istri tetap berlaku meskipun tidak ditegaskan. Perempuan dari
kasta tinggi yang menikah dengan laki –laki dari kasta yang lebih rendah
menjadi turun kasta mengikuti kasta suaminya. Perempuan yang melakukan
pelanggaran tersebut tidak diizinkan pulang ke rumah asalnya atau menegur
aorang tuanya.sedangkan, apabila seorang laki-laki berkasta menikah dengan
perempuan sudra (tidak berkasta), istri akan berganti nama dan naik derajat.
Dalam masyarakat Hindu
yang sangat seksis jika keluarga belum melahirkan anak laki-laki, dianggap
masih sangat tidak lengkap. Karena dalam pandangan Hindu, putra (anak
laki-laki) yang akan menyeberangkan jiwa orang tua ke surga. Dalam agama Hindu,
sejak awal kehidupan, pernikahan adalah salah satu lembaga efektif. Dalam Wreda
Smerti disebutkan bahwa hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam
ikatan perkawinan berusaha dengan tidak jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai
dan tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain. Perkawinan hanya
sekali dan tidak boleh melanggar kesetiaan.
Dalam Reg Wreda disebutkan bahwa manusia laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri disebut dengan istilah Dankapi yang
berarti tidak bisa dipisahkan. Dalam perkawinan, laki-laki dan perempuan adalah
satu tubuh sehingga laki-laki dan perempuan dalam keluarga seharusnya hidup
dalam kesetaraan.
Sebagai pedoman berumahtangga, umat Hindu ini diajarkan
untuk harmoni, rukun, yang tertuang dalam tritakarana (tiga penyebab
kebahagiaan), yaitu; manusia harmoni dengan Tuhan, manusia harmoni dengan
sesama, manusia harmoni dengan lingkungan. Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa agama Hindu telah meletakkan pondasi yang kokoh bagi
terciptanya kesetaraan gender antara perempuan dan pria.
D.
Feminis Hindu: Perjuangan Melawan Ketidaksetaraan
Hindu
mengganggap bahwa aspek keibuan atau feminism adalah bentuk pemujaan Tuhan yang
penuh dengan kecantikan, kelembutan serta pengampun. Pemujaan dalam bentuk
sakti (unsur keibuan) telah mengakar dengan kuat diantara seorang Hindu,
seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gavatri dan yang lainnya. Hal
ini menunjukkan lambang Tuhan dipuja sebagai seorang ibu mulia yang selalu
mengasihi dan menyayangi para bhakta yang suci. keterangan ini dijelaskan
dalam Bhagavad-Gita IX: 17 yang
menyatakan bahwa: “Aku adalah ayah dan Ibu di jagad raya, aku adalah
pencipta dari semua. Aku adalah yang tertinggi, yang diketahui, yang
mensucikan, Om yang suci dari ketiga Veda”. (Nyoman S Pendit, 2000).
Apa yang terjadi hingga saat ini dimana perempuan menempati posisi yang
termarginalkan dalam ruang adat, tradisi dan kebijakan sosial seharusnya tidak
terjadi apabila penanaman nilai-nilai dan norma hukum agama sebagaimana ayat
berikut:[12] “Naita Rupam pariksante
Nasam wayasi samsthitih
Surupam wa wirupam
Wa pumanityewa bhuhjate”.
Artinya:
Wanita tidaklah tergantung
pada rupa, demikian pula terhadap pada unsur tertentu; tetapi berpikir seadanya bahwa ia adalah laki-laki,ia tidak menyerahkan dirinya kepada
laki-laki yang cakap maupun yang buruk.[Manawa dharma sastra.IX.14.]
Penempatan perempuan
disini sangat terhormat dimana perempuan semestinya merasakan dirinya sebagai
laki-laki, artinya bahwa ayat ini menuntut menempatkan diri sebagai laki-laki pada kesetaraan antara wanita dengan
laki-laki.
Pada dasarnya tidaklah dibenarkan mengekang atau menjaga perempuan dengan
batasan – batasan norma apa pun tanpa persetujuan dan kesadaran dari perempuan
itu sendiri. Sejak dahulu dalam Manawa Dharma Sastra, sebuah sumber
hukum peradaban umat manusia menjelaskan bahwa antara laki-laki dengan
perempuan adalah sederajat dengan hak dan kewajiban yang sama, bahkan perempuan
diberi keistimewaan tersendiri dalam hukum Hindu. Perempuan, sekalipun telah
jatuh moralnya, kewajiban laki-laki adalah menjaganya dan mengembalikan
kehormatannya dengan cara-cara yang bijaksana untuk menjadikannya menjadi istri
yang utama.Tetapi perempuan itu sendiri yang jatuh moralnya menurut hukum agama
pun berakibat sama. Sehingga pada dasarnya untuk menempati posisi dihormati,
perempuan punya tanggung jawab menjaga etika dan moralnya sendiri karena
apabila perempuan itu jatuh moralnya, berakibat pada penderitaan dan
kehancuran.[13]
Wanita merupakan lambang keutamaan
cita-cita yang luhur dan sebagai barometer maju mundurnya rumah tangga. Wanita herus
bersifat mayurastri atau bersifat seperti burung merak, yang mempunyai wibawa
dan kharismatik sebagai seorang wanita dan mampu memberikan pengayoman dan
kesejukan dalam rumah tangga.
Hari Ibu merupakan
penghargaan bagi peran seorang ibu sebagai ratu rumah tangga yang sangat
dibutuhkan oleh anak-anaknya, dan anggota keluarga yang lainnya. Dalam keluarga
yang harmonis, tiap hari anggota keluarga diajarkan saling mengeluarkan
pemikiran yang positif, anggota diajak sembahyang bersama dan diisi juga dengan
berbagai nasihat.
Seorang ibu mempunyai swadharma yang begitu komplek
dalam kehidupan ini. Dari mengandung anak, melahirkan, mendidik dan memberikan
kehidupan sehingga anaknya berhasil menjadi anak yang suputra,
mendampingi suami dalam keadaan apapun serta mengatur rumah tangga.
0 komentar:
Posting Komentar