Kamis, 26 Mei 2016

RELASI GENDER DALAM AGAMA HINDU

RELASI GENDER DALAM AGAMA HINDU



Disusun Oleh:
Arjuna Ahmad                        1112034000199
Siti Rodiah                  1113034000003



A.                Ketidaksetaraan Gender Dalam Tradisi Dan Teks-Teks Hindu
            Pengertian gender dalam agama Hindu adalah hubungan sosial yang membedakan perilaku antara perempuan secara proposional menyangkut moral, etika, dan budaya, dan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berperan dan bertindak sesuai ketentuan sosial, moral, etika, dan budaya di mana mereka berada.
Dalam Hindu, gerakan keadilan dan kesetaraan semestinya diaplikasikan, di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dibarengi dengan budaya dan tradisi yang bermoral yang berdasarkan Dharma. Tradisi-tradisi yang tidak bersesuaian dengan kaidah agama hendaknya mulai dikikis perlahan-lahan menuju kearah kaidah agama yang hakiki, sebab tidak ada sedikit pun ruang gerak manusia yang terlepas dari hukum agama yang diyakini.
Karena diyakini bahwa Manawa dharma sastra adalah satu-satunya kitab hukum yang mengatur kehidupan universal yang digunakan sebagai hukum Hindu hingga saat ini, maka akan bercermin pada hukum ini;
“Yatra naryastu pujyante
Ramante tatra dewatah
Yatraitastu na pujyante
Sarwastalah kriyah”
Artinya:
Dimana wanita di hormati, disana ada kebahagiaan dan kesejahteraan, dan dimana wanita tidak di hormati tidak ada pekerjaan yang menghasilkan. [Manawa dharma sastra.III. 55.[1]
Bila ayat ini menjadi rujukan dalam sebuah tatanan hidup dimasyarakat maka apa yang disebut bias gender tidak perlu di khawatirkan, dimana perempuan mempunyai tempat yang mau tidak mau wajib di hormati oleh siapa pun. Semestinya ayat ini menjadi rujukan tata hukum suatu negara dalam setiap menentukan kebijakan.
            Di masa lalu, Syari’at agama hindu menegaskan bahwa wanita tidak mempunyai hak untuk bebas dari ayahnya, suaminya dan anaknya. Jika mereka mninggal, maka wanita harus menggabungkan dirinya dengan seorang laki-laki dari keluarga suaminya dan ia pun terkungkung seumur hidup. Bahkan, wanita dalam agama hindu tidak mempunyai hak untuk hidup sepeninggal suaminya. Ia harus membakar dirinya hidup-hidup bersamaan dengan jenazah suaminya. Tradisi ini berlaku terus menerus hingga abad ke-17, kemudian dihapus paksa tanpa persetujuan ulama-ulama agama hindu.[2]
            Wanita dalam agama Hindu terkadang juga disembelih sebagai kurban kepada tuhan-tuhan mereka, agar tuhannya merestui kehidupan mereka, memberikan hujan dan rezeki kepada mereka. Bahkan, beberapa daerah di India pada zaman purba mengagungkan pohon dengan cara menyuguhkan wanita setiap tahun untuk makanannya.
            Dalam Syari’atnya, agama hindu menyatakan bahwa: “Kesabaran yang dipaksakan, angin yang jahat, maut, neraka, ular berbisa dan api tidaklah lebih jahat dari wanita”.[3]
            Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Peran wanita di Bali harus menjalankan tiga peran dalam kehidupannya, yaitu peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Bahkan, sistem pewarisan di Bali menjadi kondisi yang sama sekali tidak memberikan keadilan kepada kaum wanita karena tidak memperoleh bekal atau modal sebagai sumber daya pribadinya untuk dapat mengembangkan potensi diri.[4]
            Disamping itu, ketidakadilan gender juga terjadi dalam hal pendidikan wanita di Bali. Penduduk Hindu di Bali lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki yang merupakan penerus keturunan keluarga. Dan menganggap sia-sia jika menyekolahkan anak perempuan ke jenjang yang lebih tinggi, karena nantinya ia akan berpisah dengan keluarga asal atau ikut bersama pihak keluarga suami. Behrman (Megawangi, 1999) menyatakan adanya alokasi sumber daya keluarga dengan model investasi murni yang berlaku pada keluarga miskin, sehingga sumber daya yang ada akan dialokasikan pada sector yang paling menguntungkan. Dimana anak laki-laki mendapatkan prioritas utama agar nantinya dapat membantu penghasilan keluarga jika telah bekerja. Akibat keterbatasan materi, maka pendidikan anak perempuan akan menjadi prioritas kedua karena nantinya akan bergantung kepada pihak suami.[5]
            Disebutkan pula bahwa terdapat konsep purusa (laki-laki) yang bersifat kepahlawanan untuk kejayaan kitab suci Veda dan kesejahteraan semua makhluk. Merujuk kepada hal tersebut, terlihat bahwa konsep purusa (laki-laki) dipengaruhi oleh agama Hindu dan dianggap hal utama bagi terciptanya harmoni bagi semua makhluk.
            Untuk menempati posisi dihormati, perempuan memiliki tanggung jawab menjaga etika dan moralnya sendiri karena apabila perempuan itu jatuh moralnya, berakibat pada penderitaan dan kehancuran.[6]
“Panam durjana samsargah
Patya ca wirako’tanam,
Swapno,nya geha wasacca
Narisamdursanani sat”.
Artinya:
Meminum minuman keras, bergaul dengan orang-orang jahat, berpisah dari suami, tidur pada jam-jam tidak layak, mengembara keluar daerah, berdiam di rumah laki-laki lain adalah enam sebab jatuhnya seorang wanita yang menyebabkan kehancuran. [ Manawa Dharma sastra IX.13.]
Sebagai etika moral dijelaskan dalam ayat ini yang membatasi prilaku seorang perempuan dalam menjaga kehormatannya dalam ruang sosial masyarakat bukan aturan yang bersifat memaksa yang mau tidak mau harus ditaati oleh seorang perempuan. Tetapi ayat diatas memberikan ruang untuk memilih dalam tatanan kehidupan masyarakat dan lingkungannya untuk menjadi terhormat dan mulia atau perempuan yang jatuh, terhina dan hancur. Artinya bahwa peran laki-laki dalam menjaga moral perempuan menurut ayat ini bersifat pasif yang mana kewenangan dalam menempatkan jati diri seorang perempuan ada pada dirinya sendiri. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa paham kesetaraan dan keadilan sesungguhnya telah menjadi budaya Hindu sejak lahirnya.
                         Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa semestinya aturan adat menunjang pelaksanaan kaidah-kaidah dan hukum agama, agar kehidupan beragama jadi lebih toleran dan menjamin kebahagiaan lahir maupun batin pemeluknya, bukan sebaliknya. Jika tidak, aturan adat yang membelenggu kehidupan masyarakatnya secara perlahan-lahan akan menjadi bumerang dan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.[7]

B.                 Relasi Kuasa Dewa-Dewa Dan Dewi-Dewi
            Dewa dan dewi adalah kekuatan supranatural yang menguasai unsur alam atau aspek-aspek tertentudalam kehidupan Umat Hindu. mereka dianggap suci dan keramat sehingga disembah dan dihormati.[8]
            Sama halnya dengan, dewa-dewa pun memiliki istri yang kita kenal dalam istilah dewi-dewi atau sakti. Dewa Wisnu mempunyai istri Dewi Laksmi, Dewa Shiwa beristri Dewi Durgana dan Dewi Uma. Mereka semua memiliki tugas dan kekuasaan masing-masing seperti Dewa Wisnu yang bergelar sebagai “shtiti” (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi semua ciptaan Tuhan (Brahman). Sedangkan Dewi  Laksmi adalah dewi kekayaan, kesuburan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keadilan dan kebijaksanaan. Dewi Laksmi juga dikenal Dewi Uang dan Widya (pengetahuan), karena Beliau juga Dewi pengetahuan keagamaan. Beliau juga dihubungkan dengan setiap kebahagiaan yang terjadi di antara keluarga dan sahabat, perkawinan, anak-anak, kekayaan, dan kesehatan, sehingga menjadikannya Dewi yang sangat terkenal di kalangan umat Hindu.
Selanjutnya, Dalam agama Hindu, Dewi Durga (Betari Durga) adalah ibu dari Dewa Ganesa dan Dewa Kumara (Kartikeya). Beliau kadangkala disebut Uma atau Parwati. Dewi Durga biasanya digambarkan sebagai seorang wanita cantik berkulit kuning yang mengendarai seekor harimau. Beliau memiliki banyak tangan dan memegang banyak tangan dengan posisi mudra, gerak tangan yang sakral yang biasanya dilakukan oleh para pendeta Hindu.
Di Nusantara, Dewi ini cukup dikenal melalui Candi Prambanan di Jawa Tengah yang juga dipersembahkan kepada Dewi ini. Pertiwi ( adalah Dewi dalam agama Hindu dan juga "Ibu Bumi" (atau dalam bahasa Indonesia "Ibu Pertiwi"). Sebagai pr›thivi mata "Ibu Pertiwi" merupakan lawan daripada dyaus pita "Bapak Angkasa". Dalam Rgveda, Bumi dan Langit seringkali disapa sebagai pasangan, mungkin hal ini menekankan gagasan akan dua paruh yang saling melengkapi satu sama lain.[9]

C.                Gender, Sistem Kasta Dan Masyarakat Yang Seksis
            Agama Hindu yang masuk ke Bali telah mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat Bali. Konsep yang terlihat jelas adalah konsep kasta yang menyebabkan adanya pembagian masyarakat berdasarkan kasta (Lansing, 1995: 27). Peraturan mengenai kasta tersebut mempengaruhi adanya peraturan pernikahan antarkasta.[10]
            Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menganut sistem patriaki. Dalam Panetje (1986: 39) dijelaskan bahwa hukum kekeluargaan di Bali berdasarkan patriarchaat (patriarkat) yaitu hubungan seorang anak dengan keluarga bapaknya adalah dasar tunggal bagi keluarganya. Keluarga dari bapak adalah hal yang paling penting. Oleh karena itu, Menurut Panetje, keluarga dari pihak laki-laki mendapat perhatian lebih dulu dibandingkan dengan keluarga ibu.
             Masyarakat Bali mengadopsi sistem kasta dari India sebagai bagian dari agama Hindu. Masyarakat dibagi ke dalam empat kasta yaitu brahmana, ksatria, vaisya, dan sudra. Empat kasta ini satu sama lain sangat terpisah. Seseorang masuk salah satu kasta itu hanya karena keturunan melalui garis pancar laki-laki (purusa). Namun, kasta tatanan masyarakat hindu mulai digoncang pada abad ke-20 karena adanya pengaruh kolonial belanda.[11]
            Panetje (1986: 21-22) menyebutkan bahwa empat sekte diatas juga memiliki ketentuan hukum adat dalam pernikahan sebagaimana yang telah ditetapkan pada tahun 1910. Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah     merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman pembuangan bagi laki-laki dan perempuan. Pernikahan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran, sehingga laki-laki harus membayar denda. Menurut Panetje, pada zaman kerajaan Bali pelanggaran tersebut dapat menyebabkan kedua mempelai dibunuh atas perintah raja. Dalam kedua pernikahan tersebut si istri turun kasta menyamai kasta suaminya.
            Pada tahun 1951 dengan peraturan Gubernur kepala Daerah Bali, peraturan diatas dihapuskan (Panetje, 1986: 22). Kini pernikahan campuran diperbolehkan tanpa hukuman apapun. Akan tetapi, turun kasta bagi si istri tetap berlaku meskipun tidak ditegaskan. Perempuan dari kasta tinggi yang menikah dengan laki –laki dari kasta yang lebih rendah menjadi turun kasta mengikuti kasta suaminya. Perempuan yang melakukan pelanggaran tersebut tidak diizinkan pulang ke rumah asalnya atau menegur aorang tuanya.sedangkan, apabila seorang laki-laki berkasta menikah dengan perempuan sudra (tidak berkasta), istri akan berganti nama dan naik derajat.
            Dalam masyarakat Hindu yang sangat seksis jika keluarga belum melahirkan anak laki-laki, dianggap masih sangat tidak lengkap. Karena dalam pandangan Hindu, putra (anak laki-laki) yang akan menyeberangkan jiwa orang tua ke surga. Dalam agama Hindu, sejak awal kehidupan, pernikahan adalah salah satu lembaga efektif. Dalam Wreda Smerti disebutkan bahwa hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan berusaha dengan tidak jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai dan tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain. Perkawinan hanya sekali dan tidak boleh melanggar kesetiaan.
Dalam Reg Wreda disebutkan bahwa manusia laki-laki dan perempuan sebagai suami istri disebut dengan istilah Dankapi yang berarti tidak bisa dipisahkan. Dalam perkawinan, laki-laki dan perempuan adalah satu tubuh sehingga laki-laki dan perempuan dalam keluarga seharusnya hidup dalam kesetaraan.
Sebagai pedoman berumahtangga, umat Hindu ini diajarkan untuk harmoni, rukun, yang tertuang dalam tritakarana (tiga penyebab kebahagiaan), yaitu; manusia harmoni dengan Tuhan, manusia harmoni dengan sesama, manusia harmoni dengan lingkungan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agama Hindu telah meletakkan pondasi yang kokoh bagi terciptanya kesetaraan gender antara perempuan dan pria.

D.                Feminis Hindu: Perjuangan Melawan Ketidaksetaraan
            Hindu mengganggap bahwa aspek keibuan atau feminism adalah bentuk pemujaan Tuhan yang penuh dengan kecantikan, kelembutan serta pengampun. Pemujaan dalam bentuk sakti (unsur keibuan) telah mengakar dengan kuat diantara seorang Hindu, seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gavatri dan yang lainnya. Hal ini menunjukkan lambang Tuhan dipuja sebagai seorang ibu mulia yang selalu mengasihi dan menyayangi para bhakta yang suci. keterangan ini dijelaskan dalam  Bhagavad-Gita IX: 17 yang menyatakan bahwa: “Aku adalah ayah dan Ibu di jagad raya, aku adalah pencipta dari semua. Aku adalah yang tertinggi, yang diketahui, yang mensucikan, Om yang suci dari ketiga Veda”. (Nyoman S Pendit, 2000).
            Apa yang terjadi hingga saat ini dimana perempuan menempati posisi yang termarginalkan dalam ruang adat, tradisi dan kebijakan sosial seharusnya tidak terjadi apabila penanaman nilai-nilai dan norma hukum agama sebagaimana ayat berikut:[12] “Naita Rupam pariksante
Nasam wayasi samsthitih                
Surupam wa wirupam
Wa pumanityewa bhuhjate”.
Artinya:
Wanita tidaklah tergantung pada rupa, demikian pula terhadap pada unsur tertentu; tetapi berpikir seadanya bahwa ia adalah laki-laki,ia tidak menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang cakap maupun yang buruk.[Manawa dharma sastra.IX.14.]
Penempatan perempuan disini sangat terhormat dimana perempuan semestinya merasakan dirinya sebagai laki-laki, artinya bahwa ayat ini menuntut menempatkan diri sebagai laki-laki pada kesetaraan antara wanita dengan laki-laki.
            Pada dasarnya tidaklah dibenarkan mengekang atau menjaga perempuan dengan batasan – batasan norma apa pun tanpa persetujuan dan kesadaran dari perempuan itu sendiri. Sejak dahulu dalam Manawa Dharma Sastra, sebuah sumber hukum peradaban umat manusia menjelaskan bahwa antara laki-laki dengan perempuan adalah sederajat dengan hak dan kewajiban yang sama, bahkan perempuan diberi keistimewaan tersendiri dalam hukum Hindu. Perempuan, sekalipun telah jatuh moralnya, kewajiban laki-laki adalah menjaganya dan mengembalikan kehormatannya dengan cara-cara yang bijaksana untuk menjadikannya menjadi istri yang utama.Tetapi perempuan itu sendiri yang jatuh moralnya menurut hukum agama pun berakibat sama. Sehingga pada dasarnya untuk menempati posisi dihormati, perempuan punya tanggung jawab menjaga etika dan moralnya sendiri karena apabila perempuan itu jatuh moralnya, berakibat pada penderitaan dan kehancuran.[13]
Wanita merupakan lambang keutamaan cita-cita yang luhur dan sebagai barometer maju mundurnya rumah tangga. Wanita herus bersifat mayurastri atau bersifat seperti burung merak, yang mempunyai wibawa dan kharismatik sebagai seorang wanita dan mampu memberikan pengayoman dan  kesejukan dalam rumah tangga.
Hari Ibu merupakan penghargaan bagi peran seorang ibu sebagai ratu rumah tangga yang sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya, dan anggota keluarga yang lainnya. Dalam keluarga yang harmonis, tiap hari anggota keluarga diajarkan saling mengeluarkan pemikiran yang positif, anggota diajak sembahyang bersama dan diisi juga dengan berbagai nasihat.
Seorang ibu mempunyai swadharma yang begitu komplek dalam kehidupan ini. Dari mengandung anak, melahirkan, mendidik dan memberikan kehidupan sehingga anaknya berhasil  menjadi anak yang suputra, mendampingi suami dalam keadaan apapun serta mengatur rumah tangga.



                [1] Dikutid di http://usuhardi.wordpress.com/2013/02/08/konsep-dewi-dalam-hindu

                [2] Dr. Mushtafa As-Siba’y, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) cet.1, terj. Dra. Chadidjah Nasution, 31
                [3] Ibid., hlm. 32
                [4] Ni Made Diska Widayani dan Sri Hartati, Jurnal Psikologi Undip: Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis Terhadap Penulis Perempuan Bali, (Vol. 13 No. 2, Oktober 2014), hlm. 154
                [5] Ni Made Diska Widayani dan Sri Hartati, Jurnal Psikologi Undip: Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis Terhadap Penulis Perempuan Bali, (Vol. 13 No. 2, Oktober 2014), hlm. 154
                [6] Ali Mukti, Agama-agama Dunia,(Yogyakarta: PT. Hanindita, 1988) h.70
                [7] I Wayan Widana, Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu : Sebuah Pengantar Gerakan Keadilan Gender dalam Perspektif Hindu, Pdf. h. 37
                [8] I Wayan Widana, Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu : Sebuah Pengantar Gerakan Keadilan Gender dalam Perspektif Hindu, Pdf. h. 30
                [9] I Wayan Widana, Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu : Sebuah Pengantar Gerakan Keadilan Gender dalam Perspektif Hindu, Pdf. h. 31
                [10] Diyan Kurniawati, Putri: Pemilihan Identitas, (FIB: UI, 2009)
                [11] Diyan Kurniawati, Putri: Pemilihan Identitas, (FIB: UI, 2009)

                [12] Ali Mukti, Agama-agama Dunia,(Yogyakarta: PT. Hanindita, 1988) h.70
                        [13]  I Wayan Widana,  Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu :….., Pdf. h 10

0 komentar:

Posting Komentar