Kamis, 26 Mei 2016

Islam dan Kesetaraan Gender



Islam dan kesetaraan gender
Rusli latif
Abstrak : persoalan gender merupakan salah satu fenomena publik yang akhir ini banyak di perbincangkan di kalangan masyarakat. Meskipun oleh sebagian orang hal tersebut sudah di anggap selesai namun masih banyaknya pembahasan tentang gender yang di sebabkan kompleknya persoalan itu sendiri, mulai dari terjadinya ketimpangan dalam kasus yang itu wanita menjadi korban, cara penyelesainya yang di tawarkan masih banyak lagi. Keberadaan agama sering kali di tuduh sebagai justifikasi atas persoalan ini. Salah satunya ajaran agama  islam. Makalah ini mencoba menjelaskan perkara mengeni isu gender dari pandangan agama, negara serta penyebab terjadinya. Salah satu penekanannya yakni terhadap teks suci agama yang memberikan kesimpulan bahwa agama sebenarnya ingin mengagkat derajat kaum wanita sendiri namun di sisi yang lain justru ada berbagai penafsiran secara hermenetik tanpa mendekonstruksi-kan ayat tersebut terhadap kondisi sosial yang terjadi.
Kata kunci ( Islam, kesetaraan, perjuangan dan Indonesia )
Kata gender yang biasa di tulis gender bukanlah hal yang asing lagi,karena kata-kata gender telah memasuki ruang diskusi masalah sosial sejak dua puluh tahun terakhir. Kata gender dalam bahasa inggris “gender” yang berarti “jenis kelamin”.[1] Sedangkan dalam women’s studies encyclopedia di jelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultura yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional anatara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat.[2]
A.    Gerakan Perempuan
Islam merupakan agama yang sangat inklusif terhadap umat manusia salah satu doktinasinya yakni islam tidak menganggap bahwa ras maupun etnis suku quraisy sebagai suku yang paling tinggi meskipun ada beberapa pihak yang menentangnnya namun kita bisa lihat dengan syariat yang selama 14 abad  masih teguh serta kokoh oleh para cendikiawan yang muncul setiap abadnya. Namun islam justru memberikan gerbang kebenaran bagi siapa saja manusia yang ingin memasukinya hal tersebut senada dengan pembawanya yakni rasulullah saw. Apabila dilihat jauh salah satu faktor yang mendukung suksenya misi nabi muhammad saw menyebarkan islam berisi tentang pembebasan dari berbagai pembebasan. Islam datang membawa kemerdekaan bagi siapa saja apakah itu laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak.secara substansi, setiap agama mengemban misi pembebas. Semangat pembebas tersebut salah satunya tercermin dalam teks suci dan teraktualisasi dalam kehidupan nyata oleh para pemeluknya. Akan tetapi sering terjadi kesenjangan anatara teks dan penafsiran dari kitab suci tersebut.[3] Setelah datang islam kesetaraan gender mulai di rasakan nama muhammad lebih mengutamakan rasional dan profesional daripada pandangan pertimbangan emosional dan tradisional dalam menjalankan misi islam. Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sejajar. Islam datang merubah budaya dan tradisi patriarkhi bangsa arab dengan cara yang revolusioner. Bahkan nabi muhammad di kenal seorang “feminis” yang menghargai perempuan. Nabi berusaha merombak budaya yang menyudutkan posisi perempuan dengan memerintahkan laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana kepada kaum perempuan.
B.     Teks Nash Al-Qur’an
Tertulis dalam ayat al-Quran surat al-Hujurat ayat 13, yakni : “ Wahai manusia!sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah SWT adalah yang paling bertaqwa. Sungguh , Allah SWT Maha Mengetahui, Maha Teliti”.
Ayat tersebut dengan jelas, menjelaskan bahwa antara satu manusia dengan manusia yang lain tidak ada pembeda diantara mereka, bahkan antara laki-laki dengan perempuan. Berikut Penjelasannya :
Ayat Al-Qur’an Tentang Penciptaan Laki-Laki dan Perempuan
No
Nama Surat
No Ayat
1
Ar-rum
21
2
An-nisa
1
3
Hujurat
13


Ayat Al-Qur’an Tentang Kesetaraan ( kapasitasnya sebagai hamba )
No
Nama Surat
No Ayat
1
An-Nahl
97
2
Al-A’raf
22
3
Al-A’raf
165
4
Al-A’raf
172
5
Al-Zariyat
56

Ayat Al-Qur’an Tentang Kedudukan dan Kesetaraan Antara Laki-Laki dan Perempuan
No
Naman Surat
No Ayat
1
Ali-Imran ayat 195
195
2
An-nisa
124
3
An-nahl
97
4
At-taubah
71-72
5
Al-Ahzab
35

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat perbedaan yang mendasar antara orang laki-laki dengan orang perempuan. Perbedaan ini lebih jauh tidak terdapat kejelasannya karena ketika ditanya mengapa? Masyarakat sendiri juga bingung. Bahkan jika ada, mereka hanya menjawab dengan asal-asalan. Sebagian orang mengatakan, laki-laki adalah pemimpin perempuan. Pernyataan inilah yang paling banyak dianut di masyarakat. Ketika anggapan tersebut ada, maka para lelaki menganggap diri mereka satu tingkat diatas perempuan. Sebenarnya pernyataan tersebut (tentang laki-laki sebagai pemimpin) memang benar, akan tetapi perasaan diatas perempuan inilah yang salah. Pernyataan ini akan memudar secara aturan akan tetapi tetap ada secara kebiasaan. Sejarah pada zaman Rasulullah pun masih memperlihatkan masih tertindasnya kaum perempuan. Contoh, ketika Umar r.a mendapati anaknya adalah perempuan. Dengan langsung menggali liang, Umar r.a mengubur anaknya. Karena saat itu, memiliki anak perempuan merupakan boomerang yang langsung diarahkan pada orang tuanya dan siap untuk ditembakkan.
Bahasan mengenai asal usul manusia dan kesetaraan gender, Amina Wadud merujuk pada firman Allah swt. dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 1.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَ “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya.”
Ayat-ayat yang juga bias gender dan kontroversial pemahamannya adalah tentang penciptaan perempuan. Allah telah memuliakan perempuan sebegitu rupa dengan mengabadikannya nama surat dalam al-qur’an (annisa) al-qur’an tidak pernah mendiskritkan perempuan. Tetapi apabila akhirnya kita menemukan presepsi yang mengatakan bahwa perempuan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki, maka itu di karenakan penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda dan budaya bias gender pada saat itu.dari beberapa konsep penciptaan manusia di atas, hanyalah penciptaan hawa yang tidak di sebutkan dengan jelas. Hal yang paling kontroversial dalam penciptaan perempuan, khususnya hawa adalah surat annisa ayat 1. Kata nafsin wahidah, minha dan zaujaha menjadi reaksi yang potensial untuk di tafsirkan secara kontroversial.menurut mayoritas ahli tafsir di  antaranya ibn katsir, al-zamakhsyari dan alusy senada menafsirkan nafsin wahidah sebagai adam dan zaujaha sebagai hawa. Hawa di ciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri argumen yang di gunakan adalah bahwa kata min dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah li al-tab’id menunjukan makna sebagiaan) maka hawa di ciptakan dari sebagian nabi adam yaitu tulang rusuk yang bengkok sebelah kiri atas pemahaman ayat ini juga di perkuat oleh hadis yang secara eksplisit mendukung hal tersebut.[4]
Dan al-Qur’an surat ar-Ruum ayat 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Menurut Amina Wadud yang perlu dikritik ulang adalah kata nafs wahidah dan zauj. Menurutya kedua ayat tersebut menjelaskan tentang kisah asal usul manusia versi al-Qur’an, tanpa kejelasan tentang Adam dan Hawa. Namun ayat tersebut dipahami sebagai penciptaan Adam dan Hawa.
Dari akar katanya nafs adalah muannas, akan tetapi kenapa ditafsirkan sebagai lelaki (Adam). Menurut Amina Wadud nafs menunjukan bahwa seluruh manusia itu berasal dari asal yang sama. Kata zauj sendiri sifatnya netral karena secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk muannas atau muzakkar. Kata zauj yang bentuk jamaknya azwaj ini sering digunakan untuk menyebut tanaman (QS. ar-Rahman, 52) dan hewan (QS. Hud, 40). Mengapa para mufassir tradisional menafsirkan zauj dengan makna istri, yakni Hawa? Amina Wadud tidak sependapat dengan penafsiran tersebut.
2. Konsep Nusyuz, Disharmoni Rumah Tangga
Para mufassir ketika membicarakan tentang nusyuz biasanya mengutip dari al-Qur’an surat an-Nisa, 34.
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “ Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Pada ayat ini mufasir sering kali ditafsirkan dan dijadikan legitimasi para suami untuk melakukan kekerasan terhadap istri yang dianggap telah nusyuz. Kata nusyuz dalam kitab fiqh dan tafsir klasik pengertiannya ditujukan untuk istri yang tidak patuh kepada suami.
Menurut Amina Wadud, kata nusyuz bisa juga ditujukan untuk kaum laki-laki (QS. an-Nisa, 128) dan kaum perempuan (QS. an-Nisa, 34), walaupun dua kata ini sering diartikan berbeda. Ketika merujuk pada kaum perempuan, kata nusyuz diartikan dengan ketidakpatuhan istri pasa suami. Sedangkan ketika merujuk pada kaum laki-laki, kata nusyuz diartikan dengan suami bersikap keras terhadap istri dan tidak mau memberikan haknya kepada istrinya. Menurut Amina Wadud, al-Qur’an menggunakan kata nusyuz untuk kaum laki-laki dan perempuan, maka ketika kata nusyuz disandarkan pada perempuan (istri), ia tidak diartikan dengan ketidakpatuhan pada suami. Akan tetapi lebih pada pengertian adanya gangguan keharmonisan dalam rumah tangga.
            Ideologi yang sudah melekat di benak masyarakat ini lambat laun mulai di benahi rasulullah dengan ajaran islam. Melalui ajaran islam beliau memberikan peran proporsiaonal bagi perempuan. Sedikit demi sedikit derajat perempuan yang aktif dalam bidang produksi, diantaranya khadijah binti khuwailid, istri rasulullah (komisaris perusahaan) zaenab binti jahsy (penyamak kulit binatang) ummu salim binti malhan (perias pengantin) zaenab binti mas’ud dan alliat ummi bani ammar (wiraswasta) serta asy-syifa (petugas pasar kota madinah).[5] Islam sangat menekankan pada keadilan di semua aspek kehidupan. Keadilan ini tidak akan tercapai tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan. Hal ini di tegaskan dalam Al-qur’an bahwa orang-orang yang beriman di perintahkan untuk berjuang membebaskan golongan masyarakat lemah dan tertindas. Hal ini sudah di mulai ketika nabi saw mengangkat seorang budak kulit hitam bilal bin rabbah menjadi muadzin.
C.     Gerakan Perempuan di Dunia
Jika kita lihat secara historis dialog antara tuhan dan manusia sejatinya sudah melepaskan ras maupun agama yang di anut karena mereka adalah orang pertama seperti yang kita yakini sekarang ini. Begiupun dari seorang perempuan yang selalu tidak puas dengan lawan jenisnya (maskulin) karena selalu di angga ada sebuah di kotomi secara “gender” yang secara sensitif bisa saja merusakan keharmonisan baik bersaudara, teman, masyarakat bahkan berkeluarga. lahir serta timbulnya gerakan perempuan tentu mempunyai banyan versi namun dalam hal ini hanya ingin menjelaskan dari sektor kebudayaan yang di berikan oleh kaum hawa selama 20 tahun terakhir. Misalnya saja di Tunisia, Rabat dan Al-jazair perempuan meneriakan kekhawatirannya lebih keras ketimbang ke tempat lain. Mereka seringkali berperan sebagai pengambil inisiatif pertama untuk turun ke jalan, sementara lai-laki baru bisa melakukan setelah berunding dengan kekuatan lainnya.di Rabat aku terlibat dalam banyak pertemuan yang secara spontan membawa para intelektual dari semua aliran bersama-sama mengambil posisi menentang perang. Ketika di putuskan kita akan mengantarkan tiga atau empat komite ke kedutaan asing atau membacakan statmen di kepala negara, aku seringkali kecewa melihat berbelit-belitnya strategi diplomatik yang seringkali tidak di percaya. Padahal menurut aka, hal itu sederhana saja. keruwetan itu tidak pernah mampir di benakku. Karena, tersingkirnya aku membuat kekuasaan memberikan kebebasan berfikir yang menakjubkan persetan dengan ketidakberdayaan tak tertahankan yang seringkali menyertainya. [6]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
             Pada abad ke-6  Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah ; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal,  uksorilokal (sangat menggandrungi wanita wanita), yang  dijumpai  di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa kelahiran  Muhammad (kira kira pada abad 570 M)  wanita tetap tinggal  bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
            Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat  matrilineal, termasuk  bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.
             Kairo adalah  Salah satu potret ikonik revolusi  Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
          Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
      Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki banyak relawan pria.
           Satu-satunya cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
         Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
        Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan Mesir.
             Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.
                  Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
                  Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan  Kesetaraan Gender di Iran
Persoalan perjuangan hak-hak perempuan muslim (Islam Feminis) di negara-negara mayoritas Islam, terutama di Timur Tengah dan lebih khusus lagi di Saudi Arabia dan Republik Islam Iran dapat di jadikan ilustrasi perbandingan dan pertentangan berkaitan dengan ungkapan-ungkapan paradoksal yang berhubungan dengan patriarkhi keagamaan (religious patriarchy) di era modern. Hal itu dipengaruhi oleh adanya tekanan dunia internasional dan untuk menaikkan citra (image) pemerintahan Saudi Arabia.
Pemerintah Arab Saudi melakukan kerjasama dengan CEDAW (the Convention on Elimination of All formsof Discrimination Againts Women) sebagai bentuk formalitas dan hypocrit karena masih banyak penerapanyang berindikasikan pada persyaratan yang berbasis syari’ah. Adapun resistansi patriarkhi di Iran lebih halus, tetapi ahli hukum tradisional (traditionalist jurisprudence) tidak mampu menyesuaikan syari’ah.
Sebagai contoh, sampai dewasa ini, Saudi Arabia mencabut hak perempuam yang memiliki kartu identitas pribadi, hak-hak sipil dan politik juga dicabut, bahkan persoalan perempuan menyetir mobil.
Adapun perempuan Iran bernasib lebih baik dibandingkan dengan Arab Saudi karena mendapatkan lebih hak-hak sosial dan politiknya berupa aktivitas dan suara-suara kaum perempuan hadir dalam tujuh parlemen (majlis); tujuh parlemen ini sebagai tempat posisi dan kekuasaan patriarkhis, serta menjadi benteng pertahanan atas kekuasaannya (bagi ulama Shi’ah adalah suatu jabatan yang harus dipertahankan).30 Kondisi politik patriarkhis parlemen menjadi hambatan paling utama bagi perjuangan feminis Islam di Iran.
Nahid Mutee mengkritisi feminis Barat mempertimbangkan persamaan (similarity) antara perempuan dan laki-laki, tetapi sejak kultur maskulin adalah dominan di dalam suatu sistem patriarkhi,kondisi perempuan menjadikan sama dengan laki-laki. Tumbuhnya persamaan tersebut berimplikasi pada revolusi nilai, seperti homo sexual, bisexual, dan keluarga yang destruktif. Oleh karena yang diperjuangkan bagi feminis Islam, maka pergerakan perempuan yang berbasis pada lokalitas dalamkonteks masyarakat perempuan Iran (indigenous Iranian women’s movement), sebagaimana pendapat Mutee.
Yogyakarta-Tiga perempuan dari Iran membagi cerita mereka tentang perempuan, hak asasi, dan dunia Islam dengan masyarakat Yogyakarta, Kamis (15/12). Mereka adalah Fereshteh Ruh Afza, Tahereh Nazari, dan Shayesteh Khuy.
Mereka bukan perempuan Iran biasa. Fereshteh Ruh Afza adalah perempuan terpilih tahun 2010 dari Presiden Republik Islam Iran serta pengelola program TV untuk perbandingan hak-hak perempuan antara Islam dan Barat. Tahereh Nazari adalah ketua Komite Internasional Dewan Kebudayaan Sosial Perempuan Republik Islam Iran sekaligus sebagai direktur urusan internasional hak asasi perempuan. Sedangkan Shayesteh Khuy merupakan seorang guru dan pengurus divisi perempuan Pusat Konsultasi Astan-e Qods-e Razavi, Mashad, Republik Islam Iran.
Ketiga perempuan Iran tersebut sengaja didatangkan ke Indonesia untuk membagi cerita tentang perempuan dalam perjuangan untuk hak asasi dalam dunia Islam. Menurut penyelenggara, ketua Raushan Fikr Institute, AM Safwan, Indonesia patut belajar dari Iran soal hak asasi perempuan.
Iran, yang terkesan sangat fundamentalis, faktanya merupakan negara yang sangat terbuka. Hal itu terlihat dari sistem pemerintahan maupun hukum yang ada. Di Indonesia sebagai negara demokrasi, kata Safwan, faktanya seorang perempuan tergantung suami dalam kasus perceraian. Juga dalam dunia politik, Iran lebih terbuka untuk perempuan. "Selain itu, mereka juga memperkenalkan keadilan di dunia terkait perempuan," kata Safwan pada Republika. Safwan menambahkan, yang paling patut kita pelajari adalah kekuatan bertahan Iran karena mampu bertahan dari tekanan Barat.
Dalam uraiannya, Fereshteh Ruh Afza lebih banyak mengungkapkan persoalan media yang semakin lama menganggap perempuan hanya sebatas obyek penarik bagi larisnya program-program mereka. Tareheh Nazari lebih banyak bercerita tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam, terutama di Iran.
Lalu Shayesteh Khuy yang seorang guru menceritakan peran perempuan dalam kebangkitan Islam. Menurutnya, gerakan perjuangan perempuan memiliki dua tahap, pertama saat penguasaan imperialis Barat dan Timur pertengahan abad ke-20, dan tahap kedua adalah peristiwa revolusi Islam di Iran oleh Khomeini. Namun, lanjut Khuy, gerakan perempuan itu melemah karena adanya tekanan oleh pihak imperialis. [7]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Turki
Selama beberapa dekade di Turki, Perjuangan dan pertarungan  antara kekuatan Islam dan sekuleris  berlangsung sangat keras. Sampai perlahan-lahan Erdogan memenangkan pertarungan melawan kaum sekuleris, yang diwakili oleh militer. Bangunan  sekulerisme yang terstruktur dalam bentuk kekuasaan, dibangun oleh Kemal Attaturk, sudah berlangsung sejak tahun 1924, bersamaan dengan keruntuhan Khilafah Otsmaniyah. Keruntuhan Turki Otsmani itu, di formalkan oleh Jenderal Kemal Attaturk ke dalam konstitusi, yang secara tegas menyatakan Turki sebagai negara sekuler. Bukan negara agama. Islam tidak lagi menjadi sumber hukum bagi kehidupan bernegara.
Perjuangan pertarungan antara kalangan Islamis melawan sekuleris, yang berlangsung selama beberapa dekade itu, baru mencapai puncaknya, ketika Erdogan dengan Partai AKP, membangun kekuatan entitas politik di Turki. Erdogan seperti membangun kembali puing-puing reruntuhan Khilafah Otsmaniyah, dan mulai menampakkan wujudnya. Turki di bawah Erdogan, seorang Muslim yang taat, kini berubah total. Sekulerisme mulai digerus, dan nilai-nilai Islam mulai nampak temaram. Seperti yang dituturkan oleh seorang pelancong dari Indonesia, baru saja meninggalkanTurki. Turki benar-benar berubah. Bukan hanya kota-kota di Turki yang sangat bersih dan teratur. Tetapi, rakyat Turki jauh lebih makmur, dibandingkan ketika masih hidup dibawah kaum sekuleris. Ekonomi Turki terbesar keempat di Eropa, tak terpengaruh oleh krisis di zona Eropa. Ekonominya tumbuh 5 persen, dan angka inflasi kurang dari dua digit. Income perkapita rakyatnya, sudah diatas $ 5.000 dollar. Perdagangan dengan negara-negara Eropa, Asia, dan Timur Tengah, terus mengalami surplus.
Sekolah, perguruan tinggi, rumah makan bagi rakyat, transportasi, dan perumahan, semuanya disubsidi oleh pemerintah. Pelancong dari Indonesia itu merasa senang berkunjung ke Turki. Semua kebutuhan pokok rakyat tercukupi, tak ada yang kesulitan. Rakyat benar-benar makmur, dan aman di Turki, sekalipun sekarang masih sering terjadi pemboman oleh kelompok separatis Kurdi. Tetapi, Erdogan perlahan mencari solusi. Di bawah Erdogan dan Partai AKP (Paratai Keadilan dan Pembangunan), segalanya telah berubah. Kebebasan keagamaan diberikan seluas-luasnya oleh pemerintah. Turki yang sangat modern dan maju  ekonomi, dan kehidupan rakyatnya sudah menyamai negara-negara di zona Eropa, kini menjadi salah satu  negara yang mengenakan pajak tertinggi di dunia terhadap alkohol dan rokok.Jadi tidak sembarangan orang bisa minum dan merokok di Turki. Orang yang minum dan merokok, harus benar-benar orang kantongnya tebal. Inilah cara melarang pemerintah Turki terhadap alkohol dan rokok. Akan tetapi kontra terus bergulir, Kekuatan sekulerisme masih ada, sudah kehilangan kekuasaannya, tetapi masih memiliki pijakan dalam konstitusi. Sekulerisme masih memiliki akar sejarah, yang diletakkan oleh Kemal Attaturk, dan menampakkan kegagalannya di  Turki, serta mulai redup, bersamaan dengan tumbuhnya kekuatan Islam di Turki, yang perlahan-lahan maju menggantikan sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dikabarkan bahwa wacana publik atas isu pemakaian jilbab mencerminkan suatu perjuangan internal demokratis atas kebebasan individu. Seperti diketahui, mengenai masalah ini, Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Mustafa Kemal Atatürk, pendiri The Founder Of Modern Turkey, melihat jilbab sebagai halangan sekularisasi dan pihaknya di modernisasi Republik Turki. Visi Ataturk belum berhasil sebab kecenderungan agama penduduk Turki, meskipun jilbab telah dilarang di sekolah-sekolah, universitas dan masyarakat sipil. Sebab lebih dari 60% dari perempuan Turki menutupi kepala mereka dengan pilihannya. Tak hanya itu, para sekularis di Turki juga khawatir terhadap Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa untuk kemudian menjadi gerakan keagamaan Islam yang berakar dan dapat meningkatkan profil publik Islam akan jilbab. Tindakan AKP misalnya yang didorong melalui RUU mencabut larangan selama puluhan tahun pada perempuan yang mengenakan jilbab di universitas-universitas. Dan hal itu merupakan kekecewaan dari pihak sekuler dan sebaliknya merupakan keberhasilan dan keuntungan bagi kelas menengah yang tumbuh konservatif membentuk basis politik AKP.
Konflik internal atas jilbab di Turki menimbulkan suatu penjajaran menarik terhadap pelarangan jilbab di Eropa. Apa artinya bila negara yang berada diperingkat kedua terbesar mayoritas Muslim di dunia sama seperti negara-negara Eropa lainnya, di mana umat Islam  tidak hanya minoritas tetapi sering terpinggirkan? Disebut-sebut bahwa pemakaian jilbab di Turki dilarang dengan alasan keamanan, sebagai bentuk tindakan anti-terorisme, dan masalah terselubung dengan isu-isu imigrasi. Di Turki, mengenakan jilbab adalah sebuah bentuk perjuangan untuk mendefinisikan identitas. Dimana mengenai hal sosial dan politik dari perjuangan ini yang pada akhirnya akan menentukan masa depan yang sangat berarti bagi Turki. Hal lain yang menyedihkan yakni Turki memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat Islam dan juga Kristen beribadah secara formal selama 6 abad di museum yang merupakan gereja katedral terbesar di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi masjid pada abad 15. Pengubahan Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik sejarah. Ketua Asosiasi Pemuda Anatolia, Salih Turhan, mengatakan penutupan Masjid Haghia Sophia adalah penghinaan bagi umat Islam dan merupakan perlakuan buruk Barat. “Penutupan Masjid Hagia Sophia adalah sebuah penghinaan dan lambang perlakuan buruk Barat terhadap Islam,” kata Turhan seperti dikutip Reuters Ahad (3/6).
Sementara itu, Organisasi Ortodoks Dunia, The Ecumenical Patriarchate, berharap Haghia Sophia tetap menjadi museum. “Kami ingin Haghia Sophia tetap menjadi museum sejalan dengan prinsip-prinsip Republik Turki,” ujar juru bicara Patriarchate, Pastor Dositheos Anagnostopulos. Menurutnya jika Haghia Sophia kembali menjadi sebuah masjid, umat Kristen tidak akan bisa berdo’a di sana, dan hal tersebut akan mengundang kekacauan. [8]
Gender di Kalangan Muslim Indonesia
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi tentunya sangat menghargai setiap kehendak setiap warga negaranya namun pada kenyataannya masih banyak kecacatan dalam masalah sosial kemasyarakatan khususnya pada kaum wanita yang sejatinya adalah mahluk yang mempunyai jiwa yang lembut meskipun terkadang juga ada pula yang menjadi seorang aktivis feminis. Banyak sekali isu-isu kesetaraan gender di indonesia sehingga persoalan ini sangat penting untuk di kaji.sejak dahulu gerakan-gerakan perempuan menghiasi sejarah bangsa indonesia. Misalnya pada abad ke 14 ada tiga raja islam yang pernah di pimpin kaum wanita yakni Sultahanah Khadijah, Sultahanah Maryam dan Sultahanah Fatimah. Dalam masa kemerdekaan perempuan ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan seperti Raden Ayu Ageng Serang, Tjut Nyak Dien yang tetap tegar melawan kolonialisme mengusir para penjajah meski di belit penyakit dan kebutaan begitupula Tjut Meutia yang memimpin perlawanan dalam peperangan di Aceh. Tokoh perempuanlainnya yang turut andil dalam pembebasan perempuan indonesia yakni R.A Kartini yang sangat gigih memperjuagkan emansipasi wanita melawan adat,buta pendidikan,kekolotan dan keterbelakangan kaum perempuan.
Orde lama
Sekitar tahun 1908 sebuah organisasi yang merupakan tonggak kebangkitan indonesia memprakasi berdirinya gerakan-geraan organisasi perempuan seperti :
1.Poetri Mardika
Organisasi ini didirikan tahun 1912 di Jakarta. Perkumpulan ini dimaksudkan agar perempuan punya sikap yang tegas dan tidak malu-malu. Poetry mardika pernah mengajukan mosi kepada gubernur jendral agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama dimuka hukum.
2. Kautaman Isteri
Gerakan ini mengutamakan pendidikan dengan cara mengadakan rumah sekolah bagi anak-anak di tasikmalaya. Dari tahun 1912-1917 dengan pengajarnya dewi sartika.
3. Sopa Trisno
Tahun 1912 berdiri perkumpulan ini yang diprakarsai oleh Nyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Menurutnya pendidikan merupakan prasyarat utama bagi peningkatan derajat perempuan. Perkumpulan ini yang kemudian menjadi organisasi perempuan Muhammadiyah yaitu Aisiyah pada Tahun 1917. Sebenarnya masih banyak lagi organisasi-organisasi perempuan yang bermunculan. Seperti pawiyatan wanito (Magelang 1915), Purboroni (Tegal, 1917), wanito soesilo (Pemalang, 1918) wanito Hadi (Jepara, 1919) dan lain sebagainya.[9]

Orde Baru

Setelah kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945,para perempuan Indonesia mulai masuk dalam ranah politik, sosial, pendidikan, kesehatan, dan juga industri. Dalam persoalan hak perempuan dan laki-laki sudah mulai ada hasilnya : yaitu, hak politik yang sama antara laki-laki dan perempuan setidaknya secara legal sudah di jamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakandalam sistem penggajian. Selain itu gerakan perempuan juga berhasil menempakan perempuan sebagai anggota parlemen, misalnya Maria Ulfa dan S.K Trimurti menjadi menteri pada cabinet Syahrir II (1946) dan cabinet Amir Syarifuddin (1947-1948). Pada masa orde baru pemerintah dalam salah satu kebijakannya yaitu membentuk kementrian khusus urusan perempuan. Yaitu Dharma Wanita yang dipegang langsung oleh presiden dan wakil presiden dengan Pembina utama dan isterinya sebagai penasihat utama dan PKK yang menjadi proyek menteri dalam negeri. Kepengurusan organisasi ini sesuai dengan jabatan structural sang suami di pemerintahan. Orba secara tidak langsung menolak partisipasi perempuan dalam politik, hal ini dikonstruksikan dengan paham “ibuisme” yaitu sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi dalam politik menjadi tidak layak.

Gerakan Perempuan Masa Reformasi
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, jsutru ada penurunan di banidng masa-masa akhir rejim orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.

Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas. [10]

Setidaknya di bidang perundangan, Indonesia mempunyai UU Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, UU Trafficking, UU Partai Politik dan Pemilu, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, rencana revisi UU Perkawinan, dan lain-lain.
Masa Depan Gerakan perempuan Muslim
Dalam paruh abad keduapuluh peranan wanita mesir mengalami eskpansi dan transpformasi besar-besaran.kaum wanita terjun dalam seluruh lapangan kerja kantoran,profesional,politik dan sebagainya.Revolusi 1952 mesir mengawali zaman baru bagi kaum wanita berdasarkan komitmennya pada egaliterianisme sosial dan posisinya yang sudah dinyatakan tentang kaum feminisme. Berkenaan dengan kaum wanita dan isu wanita segenap hasil kebudayaan sejak 1950-an tampak masuk dalam dua fase.pertama di tandai feminisme yang semarak dengan menemukan ekspresi dalam berbagai aktifitas organisasi dan dalam bentuk karya sastra yang menunjuan kesadaran kritis atas politik dominasi lai-lakidalam bidang psiologi dan bidang-bidang lain yang belum di eksplorasi sebelumnya.sementara feminisme-feminisme pertama abad itu memusatkan diri mereka terutama untuk memusatan pada etida-adilan yang terbuka dan di setujui secara formal atau aum wanita yang di lindungi hukum dan dalam praktik-praktik sosial yang di terima pada tahun 1960-an dan 1970-an,selain meneruskkan upaya melembagakan dalam hukum-hukum status personal ( perkawinan ) kaum wanita kini mulai menampakan agresi dan manipulasi terbuka dan resmi,baik psikkologi maupun fisikyang kepadanya tunduk dan bergelut dalam isu-isu tabu semisal ontrasepsi dan klitoridektomi.
            Dalam wacana “feminisme” kolonial ini lah muncul untuk pertama kalinya pandangan bahwa ada suatu hubungan intrinsik antara isu-isu kebudayaan dan status kaum wanita khususnya bahwa kemajuan kaum wanita bisa di capai hanya dengan dengan meninggalkan kebudayaan pribumi gagasan itu adalah produk dari histori momen tertentu.[11] Wacana gerakan perempuan sejatinya lebih kepada menjaga martabat perempuan itu sendiri melalui peran agam dan negara sehingga perlu penyesuaian yang efektif untuk menangani isu-isu gender yang masih banyak di perbincangkan di masyarakat.penegakan hukum serta peran masyarakat untuk menjaga kehormatan perempuan tentu pula harus di dorong bersamaan dengan kemjuan zaman.dalam hal ini agama islam tentunya melalui pperan para ulama serta tokoh agama harus memahami serta menjadi penegak hukum pertama yang ada di masyarakat karena sejatinya perempuan untuk di kasihi bukan di sakiti.



[1]  . John echols dan hasan shadily, kamus inggris indonesia ( jakarta  : Gramedia, 1995 ) 265 dan lihat M.dahlan al-barry, kamus  modern bahasa indonesia ( yogyakarta : arloka 1994 ),  hlm 170
[2] . victoria neufeldt (ed) webters’s new word dicionary (new york  : webster’s new word clvenland 1984) hlm 33-34
[3] . Qaim Amin, sejarah penindasan perempuan , ( yogyakarta Ircisod, 2003 ), hlm74
[4] . Husein Muhammad,fiqh perempuan,refleksi kiai atas wacana agama dan gender (yogyakarta: Lkis 2002) hlm 20
[5] . Ali shodiqin, “nafkah dalam hadis” dalam marhumah (ed)  membina keluarga mawaddah wa rahmah dalam bingkai sunnah nabi, ( yogyakarta : PSW  IAIN  Sunan Kalijaga dan Tthe Ford Fondation, 2003 )  hlm 182
[6] . Fatima Mernisi “ Islam an democracy fear of the modern world ” ( terjemahan  )  ( yogyakarta,  LkiS 1994 ) hlm 4
[9] . Umi Sumbulah, Spectrum Gender : Kilasan Inklusi gender di Perguruan Tinggi. Hal. 48
[11] . Ahmed Leila Wanita dan Gender dalam Islam : akar-akar historis perdebatan modern  ( Jakarta, Lentera 2000 ) hlm 289

0 komentar:

Posting Komentar