Kamis, 19 Mei 2016

PEREMPUAN, AGAMA, DAN TRANSFORMASI SOSIAL DALAM AGAMA KRISTEN

PEREMPUAN, AGAMA, DAN TRANSFORMASI SOSIAL DALAM AGAMA KRISTEN

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Relasi Gender dalam Agama
Dosen Pengampu: Siti Nadroh, MA

Oleh :
Siti Faridah
NIM. 1113034000133
Muhammad Mahir Nayl Habib
NIM. 1112034000062


Pendahuluan
Dalam ajaran-ajaran Kristen seringkali didapati ajaran-ajaran yang bersifat misoginis, dikarenakan budaya bangsa Yahudi yang sudah secara turun-temurun menganggap rendah kaum perempuan sebagai kaum kelas dua, kaum perempuan senantiasa direndahkan oleh para Rabbi dalam ajaran-ajarannya. Seringkali didapati penjelasan-penjelasan yang bersifat misoginis yang berasal dari perjanjian lama dan perjanjian baru. Adanya penjelasan-penjelasan yang bersifat misoginis tersebut diduga karena para kaum pendeta yang patriarkhi, berusaha mendominasi laki-laki di atas kaum perempuan, dan untuk mempertahankan superioritas kaum laki-laki terhadap kaum perempuan.
Hal-hal tersebut menyebabkan pembatasan pada aktifitas perempuan dalam banyak hal, bahkan menyebabkan perempuan menjadi dianggap rendah, hina, kotor ataupun najis, berdosa, serta dianggap penggoda yang menyebabkan dosa, dan sebagainya. Yang demikian itu telah menyebabkan perempuan menjadi sorotan tajam ketika mereka berbuat kesalahan dan dosa, sedangkan laki-laki yang bergelimang dalam keburukan dan dosa-dosa luput dari sorotan.
Hal ini sebenarnya bertolak belakang atas apa yang telah diajarkan Yesus, dalam bersikap dan menganggap kaum perempuan, sebagaimana Yesus ketika beliau menolong Maria Magdalena dari hukuman para Rabbi Yahudi, dan cara-cara serta etika beliau dalam mendidik dan memperlakukan perempuan-perempuan yang menjadi muridnya yang santun dan baik, tanpa adanya menghina atau merendahkannya sedikitpun.
Pada awal munculnya kaum feminis untuk menampakkan eksistensinya dalam upaya menyuarakan keadilan, terhadap kaum perempuan atas doktrin-doktrin agama yang bersifat misoginis, dan berdampak pada terjadinya ketidakadilan bagi kaum perempuan, berawal dari era liberalisme di Eropa, ketika terjadinya Revolusi Prancis di abad ke-18. Kesadaran feminis dalam tradisi Kristen mulai banyak bermunculan sejak tahun 1820an, hal ini terjadi karena hasrat yang kuat muncul dari para perempuan Amerika untuk mengadakan perubahan sosial. Pada saat itu kaum perempuan dari kalangan menengah baru, baik dari kalangan pedagang, pendeta, dan professional membentuk perkumpulan-perkumpulan dan organisasi-organisasi sosial untuk menyalurkan hasrat mereka agar mencapai pada kesetaraan.[1]
Alexis Touqueville, seorang pengamat Prancis mencatat bahwa euphoria masyarakat dalam mendirikan organisasi-organisasi tersebut begitu kuat, dengan banyaknya jumlah organisasi sosial tersebut yang mencapai ratusan. Organisasi-organisasi tersebut merefleksikan pemisahan aktifitas laki-laki dan perempuan.[2]
Terjadi perbedaan di antara perkumpulan-perkumpulan laki-laki dan perempuan, Barbara Welter mengidentifikasikan bahwa organisasi-organisasi yang dimiliki laki-laki lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat kompetitif, politik dan ekonomi yang semakin bersifat sekuler dan amoral. Sedangkan organisasi-organisasi yang dimiliki kaum perempuan lebih menekankan kasih dan moralitas. [3]
Berbagai hal upaya kaum feminis untuk menafsirkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ajaran-ajaran agama, terutama terhadap kaum perempuan yang pada realitasnya selalu mendapat pandangan rendah dari doktrin-doktrin keagamaan yang bias gender, yang mana hal ini dianggap oleh para kaum feminis sebagai cara pandang kaum patriarchal yang bias terhadap hak-hak kaum perempuan.
A.      Kritik Feminis Teologi Liberal Terhadap Doktrin-doktrin Kristen
Feminis Liberal merupakan feminis yang paling awal ada, hal ini dapat dilihat dari awal perkembangannya pada abad ke-18. Pemikiran feminis liberal tidaklah statis, melainkan pemikiran-pemikirannya terus berkembang hingga saat ini. Feminis liberal ini adalah pandangan untuk menempatkan perempuan agar dapat memiliki kebebebasan individual secara penuh. Feminisme liberal ini adalah salah satu bentuk feminisme yang memperjuangkan adanya hak persamaan untuk perempuan agar dapat diterima melalui perbaikan di bidang pemahaman sosial, yakni melalui pensejajaran perempuan dengan laki-laki dan mengambil kesempatan yang menguntungkan serta mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan yang layak.
Aliran ini beranggapan bahwa setiap manusia memliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional, adapun akar ketertindasan itu adalah disebabkan oleh perempuannya itu sendiri. Makanya ada tuntutan untuk perempuan pada masa itu utnuk mempersiapkan diri agar mampu bersaing dengan dunia luar dan pada akhirnya bisa setara dengan laki-laki. [4] yang diinginkan oleh Feminisme liberal ini adalah kekbebasan perempuan dalam hal opresi, Patriakhal dan gender.
Awal adanya kritik dari kaum teologi feminis liberal terhadap doktrin kristen bisa dikatakan disebabkan adanya surat-surat dalam alkitab yang seolah-olah Paulus mengkonfirmasi status dan peran wanita dalam gereja, misalnya di 1 Korintus 14:34-35 dan 1 Timotius 2:12-16 pada surat itu paulus melarang wanita melakukan khutbah dan mengajar dalam pertemuan acara kekristenan. Cara bapak-bapak gereja pun dalam memperlakukan perempuan terpengaruhi oleh ajaran Paulus tersebut. [5]
Adapun untuk mengetahui kritik Teologi Feminis Liberal ini kita bisa lihat bagaimana pandangan mereka terhadap alKitab, berikut beberapa contohnya[6], menurut beberapa tokoh feminis florenza dan Ruether mengenai alkitab dikatakan bahwa al-Kitab tidak boleh diterima mentah-mentah sebagai firman Allah karena banyak unsur manusia (baca: Pria) didalamnya. Mengenai inspirasi, jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa itu artinya mereka pada jalur iman Kristen yang ortodoks sekalipun mereka mengimaninya. Mereka mengatakan bahwa firman Allah itu sempurna, sementara penulis al-Kitab itu manusia terbatas dalam menyatakan kehendak-Nya, sehingga ada peluang ketidak sesuaian antara firman Allah yang kekal dengan kata-kata yang digunakan. Seingga kitab tunduk pada keterbatasan manusuia. Dikatakan juga menurut Russel bahwa alkitab itu otoritas yang prragmatis, dan dari sinilah feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki kekonsistenan terhadap perempuan. Hal ini terjadi karena alkitab dibentuk oleh kaum pria dan budaya pathriakal sehingga banyak pengalaman wahyunya yang diinterpretasi dan ditulis dari persfektif patriarkhal. Yang menjadi penyebab Paulus kadang-kadang menempatkan wanita dalam persfektif lebih rendah dan kadang pula lebih tinggi dari pria. [7]
Teolog feminis sering mengutip Galatia 3:2839 sebagai bagain alkitab yang sering dikutip oleh teolog-teolog feminis, bunyinya adalah : “dalam hal ini tidak ada orang yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka.
Tokoh-tokoh dari feminis liberal awal di antaranya adalah Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill, Harriet Taylor, Elizabeth Cady Stanton, Betty Friedan, Gloria Steinem. Dan tokoh-tokoh feminis liberal era kontemporer di antaranya adalah Zillah Einsenstein, Ellizabeth Holtzman, Bella Abzug, Eleanor Smeal, Pat Schroeder, dan Patsy Mink.[8]
Feminis liberal pada abad ke-18 ini dapat dilihat dari gagasan dan pemikiran-pemikiran Mary Wollstonecraft (1759-1797). Pemikirannya dapat dilihat dari karya tulisnya yang berjudul “A Vindication of the Rights of Women” (1792). Dalam buku ini Mary Wollstonecraft merespon karya tulis politik konservatif Edmund Burke yang berjudul “Reflections on the Revolutions in France (1790) dan kepada usulan-usulan yang diajukan oleh Jean-Jacques Rousseau di Prancis, untuk membatasi pendidikan perempuan dan mengarahkannya kepada hal-hal domestik saja.[9]
Wollstonecraft berpendapat, perempuan itu alamiahnya tidaklah lebih rendah daripada laki-laki, akan tetapi hal itu terjadi disebabkan oleh kurangnya mereka dari pendidikan, dan jalur di setiap pendidikan serta penetapan-penetapan sosial mengenai kesetaraan telah terdistorsi oleh pandangan-pandangan laki-laki dari setiap keadaan. Laki-laki pada umumnya nampak menggunakan alasan mereka untuk membenarkan prasangka-prasangka yang mereka miliki, kesimpulan-kesimpulan yang tidak sempurna itu kemudian tergambarkan, yang sering kali sangat dapat diterima oleh akal, karena mereka membangun landasan yang didasari oleh pengalaman-pengalaman sepihak dengan sudut pandang kuno yang sempit.[10]
Wollstoncraft juga mengusulkan agar laki-laki dan perempuan agar dapat bekerjasama, mereka akan bermanfaat bagi pendidikan dan tatanan sosial jika didasari oleh musyawarah yang baik. Kemudian dia berargumen bahwasannya seluruh lapisan masyarakat bergantung oleh didikan perempuan, selama para ibu adalah pendidik utama dari anak-anak.[11] Dalam tulisannya dia juga mengkritik kehidupan para wanita borjuis yang hidupnya ibarat “burung dalam sangkar”. Mereka hidup dengan dua arah yang berebeda, di satu sisi mereka harus bangga dengan kekayaan yang dimiliki suaminya, di sisi lain mereka harus tunduk dengan segala aturan-aturan dan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.[12]
Kemudian di abad ke-19, gagasan-gagasan utamanya banyak berasal dari pemikiran-pemikiran Stuart Mill dan Harriet Taylor, di antara gagasan utama dari kedua tokoh tersebut adalah,
1.      Perempuan memiliki otonomi untuk meraih kebahagiaanya
2.      Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan
3.      Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam bidang sipil, hak politik, dan ekonomi.
4.      Menolak adanya status Quo, khususnya dominasi suami dalam keluarga, dan mendorong perempuan agar dapat bekerja di ranah public.
Kemudian gagasan Mill dan Taylor diteruskan oleh Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton. Di dalam pengantar The Women’s Bible, Elizabeth Cady Stanton menyatakan “selama sepuluh ribu kitab suci masih dicetak setiap tahun, jangan anggap remeh pengaruhnya.” Semakin lama akan semakin banyak perempuan yang memimpikan kebebasan dari penindasan agama, namun dominasi laki-laki akan terus-menerus terjadi di bidang penafsiran terhadap kitab suci.[13] Kalangan femenis liberal kemudian terus dilanjutkan dan berkembang hingga saat ini, dengan pemikiran-pemikiran yang terus berkembang dalam memahami bias gender yang terdapat di dalam kitab suci.
Kritik yang sering dilontarkan dari kalangan feminis terhadap ajaran-ajaran Kristen cukup beragam. Berikut beberapa kritik kaum feminis terhadap doktrin-doktrin keagamaan yang dianggap telah merugikan kaum perempuan, yang telah disusun Randy L. Maddox, di antaranya adalah:
1.      Sifat dasar teologi
Para feminis Kristen seringkali mengkritisi model-model refleksi teologis yang bersifat abstrak, teoretis, dan deduktif. Mereka menekankan pada ekspresi teologis yang bersifat praksis dan konstruktif. Seluruh formulasi teologis itu failable dan terbuka untuk reformulasi yang kritis.
2.      Sumber teologi
Menurut mereka pengalaman, alasan dan tradisi memainkan peran dalam pemahaman seseorang terhadap kitab Injil. Dan mereka berusaha mengangkat kembali tradisi dan pengalaman perempuan yang selama ini terabaikan.
3.      Doktrin tentang Trinitas
Doktrin lama tentang Tuhan sebagai Supreme being berdampak kepada pemahaman yang hirarkis, individualistik, dan elitis terkait tatanan sosial manusia. Sebaliknya kaum feminis berargumen bahwa pemahaman tentang Tuhan yang sesungguhnya dan pemahaman relaitas yang saling berkolerasi adalah lebih Biblical.
4.      Doktrin tentang Tuhan Bapak Sebagai creator
Feminis seringkali dituduh ingin mengganti Tuhan Bapak menjadi Tuhan Ibu, hal ini disangkal oleh mereka karena mereka tertarik terhadap pentingnya penegasan kembali terhadap doktrin teologi klasik yang menjelaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tanpa adanya peninggian suatu jenis kelamin tertentu. Dalam kata ganti He sebagai dia laki-laki yang seringkali dipahami menjadi bias gender. Menurut mereka bahwa dalam memahami Tuhan harus dimaknai lebih Biblical dan inklusif untuk pengalaman perempuan.
5.      Doktrin tentang Yesus Kristus
Yesus Sebagai reinterpretasi dari Tuhan pencipta yang abstrak dibandingkan direinterpretasikan sebagai manusia. Padahal menurut feminis Yesus harus dipahami sebagai reinterpretasi dari keduanya. Sebagian feminis seringkali bertanya mengapa kehadiran mereka sringkali diwakili oleh laki-laki, sebagian dari mereka menjawab kelaki-lakian Yesus adalah fakta Historis bukan kepantingan Teologis
6.      Doktrin tentang Holy Spirit
Dalam tradisi Kristen Holy Spirit seringkali diasosiasikan sebagai perempuan, baik secara analogis maupun literal. Jika penggunaan term God bernuansa maskulin maka feminis berupaya untuk menfeminisasikan Holy Spirit. Hal ini dikarenakan Holy Spirit memiliki sifat-sifat feminine.
7.      Doktrin tentang penciptaan
Tujuan feminis merefleksikan pemahaman tentang doktrin penciptaan untuk mengatasi pemikiran maskulinitas yang dualistic dan hirarkis dlam tradisi Kristen. Menurut mereka ini tidak sesuai dengan doktrin agama.
8.      Doktrin tentang Kemanusiaan
Feminis mengkritik dualism hirarkis dalam kemanusiaan dalam kehidupan laki-laki dan perempuan. Contohnya peran dan tanggung jawab laki-laki adalah di ranah public dan perempuan di ranah domestic, cara pandang seperti ini dilegitimasi oleh agama. maka dari itu mereka beragumen bahwa hal tersebut mesti diminimalisir atau dihapus dalam memaknai kitab suci.
9.      Doktrin tentang Dosa
Menurut kalangan feminis bahwa dosa adalah bentuk-bentuk kehancuran hubungan sosial baik laki-laki maupun perempuan, kaya miskin, budak dan orang merdeka.
10.  Doktrin tentang Penebusan Dosa atau Keselamatan
Menurut kalangan feminis keselamatan sangat berkaitan dengan perbincangan individual. Struktur sosial yang terdistorsi harus diselamatkan, karena pada dasarnya mereka melihat keselamatan sebagai pembenaran sekaligus pensucian.
11.  Doktrin tentang Gereja dan Ministery
Kalangan feminis menuntut agar dihilangkanya model-model hirarki yang tidak berdasarkan kitab suci dan tidak manusiawi. Mereka juga menolak perbedaan antara orang awam dan pendeta yang menyebabkan ketergantungan orang awam terhadap pendeta.
12.  Doktrin tentang Eskatologi
Feminis Kristen memandang bahwa eskatologi dalam ajaran Kristen seharusnya memasukkan transformasi dari seluruh tatanan sosial yang berbasis pada kesetaraan dan keadilan gender. Lebih dari itu, mereka menilak pandangan eskatologi masa depan yang bersifat duniawi dan eskatologi yang direalisasikan secara spiritual, sebaliknya mereka mengajukan eskatologi yang memelihara tensi antara apa yang telah dilakukan dan transformasi sosial yang diharapkan.[14]

B.       Spritualisme dan Perubahan Peran Perempuan di Era Kristen Modern
Usaha Perjuangan Perempuan Kristen pada abad 19 sangatlah progresif, dikatakan bahwa perempuan membuat kemajuan dalam bidang misis, organisasi dan kepemimpinan, kini pengembangan sayap tidak hanya dibagian rohani saja melainkan sudah ke luar rumah dan keluarga. Mereka berusaha membuat sesuatu yang berbeda di masyarakat dengan alasan sosial dan keagamaan. Pelayanan kepada yang sakit, kaum papa dan pelayanan yatim piatu, perempuan malam kembali mendapat pelayanan dari pihak perempuan. Disisi lain ada yang menulis karya-karya religius, diantaranya bahan untuk memahami alkitab. Bermunculan pengkhotbah perempuan khususnya di Amerika , Diantaranta Clarissa Danforth, Jerena Lee, Mary Cole, dan perempuan pertama yang ditahbiskan sebagai pendeta yakni Antoinette L Brown.[15]
Lahir pula organisasi-organisasi yang menyuarakan hak-hak perempuan seperti NOW (National Organitation for Women), organisasi ini bertujuan untuk menyuarakan agar perempuan dapat setara dengan laki-laki, selain itu terbit pula buku-buku yang menyuarakan hak-hak perempuan seperti the Feminine Mysitique dan The second Stage. [16]

C.      Gerakan Reformasi Sosial Keagamaan untuk Kesetaraan Gender Abad ke-20
Pada Abad ke 20 perjuangan Gender dikatakan sudah cukup menonjol dan membawa perubahan besar pada masyarakat, kedudukan wanita abad ini banyak menduduki keududukan di bagian managerial atau jabatan penting di perusahaan ataupun tingkat pemerintahan, hal ini dikatakan sebagai bagian dari keberhasilan mereka dalam perjuangannya, dan aspek lain yang lebih luas.
Genre baru dalam pemikiran kristen hadir di Abad 20 yang dibangun oleh para mahasiswi sekolah teologi dan para teolog-teolog wanita, teologi baru ini dikenal dengan teologi feminis, teologi ini memiliki cakupan yang cukup luas dan berkembang sehingga ada terbentuk beberapa aliran teologi feminis, seperti feminis radikal, biblikal, liberal, dan sebagainya.[17]
Di abad ke-20 ini pun lahir berbagai macam gerakan perempuan dalam membela hak-haknya, dan tuntutan merekapun semakin beragam. Perempuan menampakkan resistensinya terhadap hegemoni kaum laki-laki pada Konvensi Hak-hak Perempuan di Akron, Ohio. Perempuan menuntut dipenuhinya hak-hak mereka terkait hak sosial, hak pendidikan, dan hak pilih melalui organisasi yang telah dibentuk seperti National Women’s Suffrage Association (NWSA) dan American Women’s Suffrage Association (AWSA).[18]
Setelah terpenuhinya tuntutan mereka di tahun 1920 yang tertuang dalam amandemen 19 Amerika Serikat, aktivitas feminisme menurun aktivitasnya. Sampai pada tahun 1959, kondisi perempuan kembali berada di bawah sistem patriarkhi, yang menempatkan perempuan pada kelas kedua. Bahkan sebagian besar perempuan kembali berkeyakinan bahwa kedudukan perempuan yang ideal adalah menjadi ibu rumah tangga, meski pada realitasnya banyak juga perempuan yang bekerja di luar rumah.
Kesadaran akan ketertindasan perempuan mulai muncul kembali bersamaan dengan terbitnya buku Betty Friedan yang berjudul “The Feminine Mystique” di tahun 1960. Buku ini kemudian menjadi teks yang mendasari munculnya feminis gelombang kedua. Friedan mengkaji secara mendalam nasib perempuan Amerika. Ia menyimpulkan bahwa menjadi ibu dan istri buat sebagian perempuan tertentu di Amerika Serikat tidaklah memadai. Bila dilihat sekilas, seorang istri mungkin nampak bahagia dengan peran tradisionalnya, tapi mereka sebenarnya merasakan kehampaan dalam dirinya. Namun masalah ini tidak bisa dideteksi oleh perempuan itu sendiri. Karena itu, ia menakaman masalah ini dengan istilah “Problem that has no name” (permasalahan tanpa nama). Problem yang menjadi epidemic di Amerika Serikat tersebut, terkait dengan realitas perempuan yang kehilangan otonominya, sehingga mereka hanya mengabdikan diri sepenuhnya untuk kepentingan suami, anak dan rumah tangganya. Kondisi ini terjadi karena perempuan dikungkung oleh the Feminine Mystique yang menekankan bahwa nilai-nilai tertinggi dan satu-satunya komitmen bagi perempuan adalah pemenuhan feminitas mereka.[19]
Kemudian Friedan menerbitkan buku kedua dan ketiganya, yang berjudul The Second Stage dan The Fountain of Age. Terdapat perbedaan di dalam ketiga buku Friedan. Di buku pertama, dia mengajak para perempuan untuk turut aktif dalam berbagai aktifitas kehidupan. Di buku kedua, dia merekomendasikan perempuan untuk menjadi perempuan, hal ini mungkin karena Friedan mempertimbangkan kesulitan para perempuan dalam mengatur antara karir, pernikahan, menjadi orangtua, dsb. Dia menyarankan agar para perempuan berhenti mengambil dan memegang semuanya sebagai perempuan super, dan dia menawarkan solusi agar para perempuan bekerja dengan tidak mengabaikan cinta. Belakangan pemikirannya mengarah kepada androgini, seperti yang dipaparkan dalam buku ketiganya, yang mana perlunya laki-laki maupun perempuan secara bersamaan mengembangkan sisi maskulin dan femininenya.
Friedan kemudian mendirikan National Organization for Women (NOW) sebagai wadah perjuangannya. NOW memperjuangkan diskriminasi gender secara tegas. Di antara beberapa isu yang diperjuangkan NOW adalah:
a)         Amandemen persamaan hak harus segera diloloskan oleh Kongres Amerika Serikat.
b)        Jaminan kesempatan kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan, serta pentingnya larangan atas diskriminasi ras.
c)         Perlindungan hak-hak perempuan yang dijamin secara hukum, seperti hak cuti hamil dan melahirkan tanpa adanya pemotongan upah, dan dapat kembali bekerja setelah masa cuti habis.
d)        Revisi hukum-hukum perpajakan agar dapat pemotongan untuk rumah dan perawatan anak.
e)         Fasilitas pengasuhan anak dari pra-sekolah hingga remaja harus segera direalisasikan dan dijamin secara hukum.
f)         Hak pendidikan yang layak bagi perempuan dan dijamin oleh hukum di negara-negara.
g)        Hak perempuan miskin untuk mendapatkan pelatihan kerja, perumahan, tunjanagan keluarga setara dengan laki-laki.
h)        Hak-hak perempuan untuk mengontrol hak-hak reproduksinya, dan tidak dibatasi akses informasi untuk mendapat kontrasepsi, serta mencabut larangan aborsi.
Kemudian di abad ke-20 ini juga banyak aliran feminis bermunculan, setelah munculnya feminis liberal kemudian disusul oleh munculnya aliran feminisme radikal, marxis, sosialis yang mana adanya perbedaan satu sama lain, sebagai respon atau ketidakpuasan dari kalangan feminis sebelumnya.
Demikianlah sedikit gambaran tentang perempuan, agama, dan transformasi sosial dalam agama Kristen.
D.      Penutup
Transformasi sosial dalam kristen dimuali abad pertengahan, yakni sekitar awal tahun 1970 yang mana kaum perempuan mulai menyadari arti penindasan yang dialami oleh perempuan termasuk dalam hal teologi, seperti perendahan kedudukan perempuan dilingkungan greja dalam bentuk larangan khatbah ataupun mengajarkannya kepada jamaat.
Feminis teologi liberal adalah bagian dari kaum feminis yang dikatakan cukup moderat, hal yang paling menonjol adalah faham bahwa perempuan juga bagian dari ciptaan tuhan yang memiliki potensi rasional yang sama dengan laki-laki, kaum ini menuntuk rekontruksi tatanan sosial dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, terlebih dalam hal pendidikan. Ada beberapa doktrin kristen yang mereka kritik karena dianggap bersifat patriarkhi.
Di Abad ke-20 gerakan feminis merasa ada pada puncak pencapaian yakni perempuan sudah mampu berada pada posisi dan ruang lingkup kebebasan yang cukup terbuka, seperti dalam ranah politik, pendidikan, dan lain aspek.

Daftar Pustaka
·         Contemporary Feminis Ttheories, Newyork University Press, yang diterjemahkan tim Jalasutra, Jakarta, 1998.
·         Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama. Cet.I, UIN Jakarta Press, 2016.
·         Linwood, Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie, PT BPK Gunung Mulia, Cet. II. Jakarta, 2006.
·         M. Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction: Christianity and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S. Alexander, Cet. I. Cambridge, 2010.
·         Retnowati, Perempuan-perempuan dalam al-Kitab, Peran, Partisipasi, dan Perjuangannya, Cet.III., PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008.
·         http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf, diunduh pada hari Rabu, 23 Mmaret 2016.





[1] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[2] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[3] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[5] Ing Sian, Sebuah Tinjauan Teologis Feminis Kristen, hlm 3
[6] Ibid, hlm 6
[7] Lie Ing Sian, Sebuah Tinjauan Teologi Feminis Kristen, jurnal, hlm 8
[8] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.51
[9] M. Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction: Christianity and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S. Alexander, h. 308
[10] M. Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction: Christianity and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S. Alexander, h. 308
[11] M. Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction: Christianity and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S. Alexander, h. 308
[12] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.52
[13] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.103
[14] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[15] Perempuan dalam Lintasan Sejarah Kristen, http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/perempuan-dalam-lintasan-sejarah-kristen.pdf
[16] Jurnal, Sejarah Feminisme, hlm. 10
[17] Lie Ing Sian, Sebuah Tinjauan Teologi Feminis Kristen, jurnal, hlm 2
[18] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.56
[19] da Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.57

0 komentar:

Posting Komentar