PEREMPUAN, AGAMA, DAN TRANSFORMASI SOSIAL DALAM AGAMA KRISTEN
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata Kuliah Relasi Gender dalam Agama
Dosen Pengampu: Siti Nadroh, MA
Oleh :
Siti Faridah
NIM. 1113034000133
Muhammad Mahir Nayl Habib
NIM. 1112034000062
Pendahuluan
Dalam ajaran-ajaran Kristen seringkali didapati ajaran-ajaran yang
bersifat misoginis, dikarenakan budaya bangsa Yahudi yang sudah secara
turun-temurun menganggap rendah kaum perempuan sebagai kaum kelas dua, kaum
perempuan senantiasa direndahkan oleh para Rabbi dalam ajaran-ajarannya.
Seringkali didapati penjelasan-penjelasan yang bersifat misoginis yang berasal
dari perjanjian lama dan perjanjian baru. Adanya penjelasan-penjelasan yang
bersifat misoginis tersebut diduga karena para kaum pendeta yang patriarkhi,
berusaha mendominasi laki-laki di atas kaum perempuan, dan untuk mempertahankan
superioritas kaum laki-laki terhadap kaum perempuan.
Hal-hal tersebut menyebabkan pembatasan pada aktifitas perempuan
dalam banyak hal, bahkan menyebabkan perempuan menjadi dianggap rendah, hina,
kotor ataupun najis, berdosa, serta dianggap penggoda yang menyebabkan dosa,
dan sebagainya. Yang demikian itu telah menyebabkan perempuan menjadi sorotan
tajam ketika mereka berbuat kesalahan dan dosa, sedangkan laki-laki yang bergelimang
dalam keburukan dan dosa-dosa luput dari sorotan.
Hal ini sebenarnya bertolak belakang atas apa yang telah diajarkan
Yesus, dalam bersikap dan menganggap kaum perempuan, sebagaimana Yesus ketika
beliau menolong Maria Magdalena dari hukuman para Rabbi Yahudi, dan cara-cara
serta etika beliau dalam mendidik dan memperlakukan perempuan-perempuan yang
menjadi muridnya yang santun dan baik, tanpa adanya menghina atau
merendahkannya sedikitpun.
Pada awal munculnya kaum feminis untuk menampakkan eksistensinya
dalam upaya menyuarakan keadilan, terhadap kaum perempuan atas doktrin-doktrin
agama yang bersifat misoginis, dan berdampak pada terjadinya ketidakadilan bagi
kaum perempuan, berawal dari era liberalisme di Eropa, ketika terjadinya
Revolusi Prancis di abad ke-18. Kesadaran feminis dalam tradisi Kristen mulai
banyak bermunculan sejak tahun 1820an, hal ini terjadi karena hasrat yang kuat
muncul dari para perempuan Amerika untuk mengadakan perubahan sosial. Pada saat
itu kaum perempuan dari kalangan menengah baru, baik dari kalangan pedagang,
pendeta, dan professional membentuk perkumpulan-perkumpulan dan
organisasi-organisasi sosial untuk menyalurkan hasrat mereka agar mencapai pada
kesetaraan.[1]
Alexis Touqueville, seorang pengamat Prancis mencatat bahwa euphoria
masyarakat dalam mendirikan organisasi-organisasi tersebut begitu kuat, dengan
banyaknya jumlah organisasi sosial tersebut yang mencapai ratusan.
Organisasi-organisasi tersebut merefleksikan pemisahan aktifitas laki-laki dan
perempuan.[2]
Terjadi perbedaan di antara perkumpulan-perkumpulan laki-laki dan
perempuan, Barbara Welter mengidentifikasikan bahwa organisasi-organisasi yang
dimiliki laki-laki lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat kompetitif,
politik dan ekonomi yang semakin bersifat sekuler dan amoral. Sedangkan
organisasi-organisasi yang dimiliki kaum perempuan lebih menekankan kasih dan
moralitas. [3]
Berbagai hal upaya kaum feminis untuk menafsirkan pesan-pesan moral
yang terkandung dalam ajaran-ajaran agama, terutama terhadap kaum perempuan
yang pada realitasnya selalu mendapat pandangan rendah dari doktrin-doktrin
keagamaan yang bias gender, yang mana hal ini dianggap oleh para kaum feminis
sebagai cara pandang kaum patriarchal yang bias terhadap hak-hak kaum
perempuan.
A.
Kritik Feminis Teologi Liberal Terhadap Doktrin-doktrin Kristen
Feminis Liberal merupakan feminis
yang paling awal ada, hal ini dapat dilihat dari awal perkembangannya pada abad
ke-18. Pemikiran feminis liberal tidaklah statis, melainkan
pemikiran-pemikirannya terus berkembang hingga saat ini. Feminis liberal ini adalah pandangan untuk menempatkan
perempuan agar dapat memiliki kebebebasan individual secara penuh.
Feminisme liberal ini adalah salah satu bentuk feminisme yang memperjuangkan
adanya hak persamaan untuk perempuan agar dapat diterima melalui perbaikan di
bidang pemahaman sosial, yakni melalui pensejajaran perempuan dengan laki-laki
dan mengambil kesempatan yang menguntungkan serta mendapatkan kesempatan mengenyam
pendidikan yang layak.
Aliran ini beranggapan bahwa setiap manusia memliki kapasitas untuk
berfikir dan bertindak secara rasional, adapun akar ketertindasan itu adalah
disebabkan oleh perempuannya itu sendiri. Makanya ada tuntutan untuk perempuan
pada masa itu utnuk mempersiapkan diri agar mampu bersaing dengan dunia luar
dan pada akhirnya bisa setara dengan laki-laki. [4]
yang diinginkan oleh Feminisme liberal ini adalah kekbebasan perempuan dalam
hal opresi, Patriakhal dan gender.
Awal adanya kritik dari kaum teologi feminis liberal terhadap doktrin kristen
bisa dikatakan disebabkan adanya surat-surat dalam alkitab yang seolah-olah Paulus mengkonfirmasi status dan peran wanita dalam gereja, misalnya di 1 Korintus 14:34-35 dan 1 Timotius 2:12-16 pada surat itu
paulus melarang wanita melakukan khutbah dan mengajar dalam pertemuan acara
kekristenan. Cara bapak-bapak gereja pun dalam memperlakukan perempuan
terpengaruhi oleh ajaran Paulus tersebut. [5]
Adapun untuk mengetahui kritik Teologi Feminis Liberal ini kita bisa lihat
bagaimana pandangan mereka terhadap alKitab, berikut beberapa contohnya[6],
menurut beberapa tokoh feminis florenza dan Ruether mengenai alkitab dikatakan
bahwa al-Kitab tidak boleh diterima mentah-mentah sebagai firman Allah karena
banyak unsur manusia (baca: Pria) didalamnya. Mengenai inspirasi, jangan
terburu-buru menyimpulkan bahwa itu artinya mereka pada jalur iman Kristen yang ortodoks sekalipun mereka mengimaninya. Mereka mengatakan bahwa firman
Allah itu sempurna, sementara penulis al-Kitab itu manusia terbatas dalam
menyatakan kehendak-Nya, sehingga ada peluang ketidak sesuaian antara firman
Allah yang kekal dengan kata-kata yang digunakan. Seingga kitab tunduk pada
keterbatasan manusuia. Dikatakan juga menurut Russel bahwa alkitab itu otoritas
yang prragmatis, dan dari sinilah feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak
memiliki kekonsistenan terhadap perempuan. Hal ini terjadi karena alkitab
dibentuk oleh kaum pria dan budaya pathriakal sehingga banyak pengalaman
wahyunya yang diinterpretasi dan ditulis dari persfektif patriarkhal. Yang
menjadi penyebab Paulus kadang-kadang menempatkan wanita dalam persfektif lebih
rendah dan kadang pula lebih tinggi dari pria. [7]
Teolog feminis sering mengutip Galatia 3:2839 sebagai
bagain alkitab yang sering dikutip oleh teolog-teolog feminis, bunyinya adalah
: “dalam hal ini tidak ada orang yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau
orang merdeka.
Tokoh-tokoh dari feminis liberal
awal di antaranya adalah Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill, Harriet Taylor,
Elizabeth Cady Stanton, Betty Friedan, Gloria Steinem. Dan tokoh-tokoh feminis
liberal era kontemporer di antaranya adalah Zillah Einsenstein, Ellizabeth
Holtzman, Bella Abzug, Eleanor Smeal, Pat Schroeder, dan Patsy Mink.[8]
Feminis liberal pada abad ke-18 ini
dapat dilihat dari gagasan dan pemikiran-pemikiran Mary Wollstonecraft
(1759-1797). Pemikirannya dapat dilihat dari karya tulisnya yang berjudul “A
Vindication of the Rights of Women” (1792). Dalam buku ini Mary
Wollstonecraft merespon karya tulis politik konservatif Edmund Burke yang
berjudul “Reflections on the Revolutions in France (1790) dan kepada
usulan-usulan yang diajukan oleh Jean-Jacques Rousseau di Prancis, untuk
membatasi pendidikan perempuan dan mengarahkannya kepada hal-hal domestik saja.[9]
Wollstonecraft berpendapat, perempuan itu alamiahnya tidaklah lebih
rendah daripada laki-laki, akan tetapi hal itu terjadi disebabkan oleh
kurangnya mereka dari pendidikan, dan jalur di setiap pendidikan serta
penetapan-penetapan sosial mengenai kesetaraan telah terdistorsi oleh
pandangan-pandangan laki-laki dari setiap keadaan. Laki-laki pada umumnya
nampak menggunakan alasan mereka untuk membenarkan prasangka-prasangka yang
mereka miliki, kesimpulan-kesimpulan yang tidak sempurna itu kemudian
tergambarkan, yang sering kali sangat dapat diterima oleh akal, karena mereka
membangun landasan yang didasari oleh pengalaman-pengalaman sepihak dengan
sudut pandang kuno yang sempit.[10]
Wollstoncraft juga mengusulkan agar laki-laki dan perempuan agar
dapat bekerjasama, mereka akan bermanfaat bagi pendidikan dan tatanan sosial
jika didasari oleh musyawarah yang baik. Kemudian dia berargumen bahwasannya
seluruh lapisan masyarakat bergantung oleh didikan perempuan, selama para ibu
adalah pendidik utama dari anak-anak.[11]
Dalam tulisannya dia juga mengkritik kehidupan para wanita borjuis yang
hidupnya ibarat “burung dalam sangkar”. Mereka hidup dengan dua arah yang
berebeda, di satu sisi mereka harus bangga dengan kekayaan yang dimiliki
suaminya, di sisi lain mereka harus tunduk dengan segala aturan-aturan dan
tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.[12]
Kemudian di abad ke-19, gagasan-gagasan utamanya banyak berasal
dari pemikiran-pemikiran Stuart Mill dan Harriet Taylor, di antara gagasan
utama dari kedua tokoh tersebut adalah,
1.
Perempuan
memiliki otonomi untuk meraih kebahagiaanya
2.
Perempuan
memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan
3.
Perempuan
memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam bidang sipil, hak politik,
dan ekonomi.
4.
Menolak
adanya status Quo, khususnya dominasi suami dalam keluarga, dan mendorong
perempuan agar dapat bekerja di ranah public.
Kemudian gagasan Mill dan Taylor diteruskan oleh Lucretia Mott dan
Elizabeth Cady Stanton. Di dalam pengantar The Women’s Bible, Elizabeth
Cady Stanton menyatakan “selama sepuluh ribu kitab suci masih dicetak setiap
tahun, jangan anggap remeh pengaruhnya.” Semakin lama akan semakin banyak
perempuan yang memimpikan kebebasan dari penindasan agama, namun dominasi
laki-laki akan terus-menerus terjadi di bidang penafsiran terhadap kitab suci.[13]
Kalangan femenis liberal kemudian terus dilanjutkan dan berkembang hingga saat
ini, dengan pemikiran-pemikiran yang terus berkembang dalam memahami bias
gender yang terdapat di dalam kitab suci.
Kritik yang sering dilontarkan dari kalangan feminis terhadap
ajaran-ajaran Kristen cukup beragam. Berikut beberapa kritik kaum feminis
terhadap doktrin-doktrin keagamaan yang dianggap telah merugikan kaum
perempuan, yang telah disusun Randy L. Maddox, di antaranya adalah:
1.
Sifat
dasar teologi
Para
feminis Kristen seringkali mengkritisi model-model refleksi teologis yang
bersifat abstrak, teoretis, dan deduktif. Mereka menekankan pada ekspresi
teologis yang bersifat praksis dan konstruktif. Seluruh formulasi teologis itu
failable dan terbuka untuk reformulasi yang kritis.
2.
Sumber
teologi
Menurut
mereka pengalaman, alasan dan tradisi memainkan peran dalam pemahaman seseorang
terhadap kitab Injil. Dan mereka berusaha mengangkat kembali tradisi dan
pengalaman perempuan yang selama ini terabaikan.
3.
Doktrin
tentang Trinitas
Doktrin
lama tentang Tuhan sebagai Supreme being berdampak kepada pemahaman yang
hirarkis, individualistik, dan elitis terkait tatanan sosial manusia. Sebaliknya
kaum feminis berargumen bahwa pemahaman tentang Tuhan yang sesungguhnya dan
pemahaman relaitas yang saling berkolerasi adalah lebih Biblical.
4.
Doktrin
tentang Tuhan Bapak Sebagai creator
Feminis
seringkali dituduh ingin mengganti Tuhan Bapak menjadi Tuhan Ibu, hal ini
disangkal oleh mereka karena mereka tertarik terhadap pentingnya penegasan
kembali terhadap doktrin teologi klasik yang menjelaskan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan, tanpa adanya peninggian suatu jenis kelamin tertentu.
Dalam kata ganti He sebagai dia laki-laki yang seringkali dipahami
menjadi bias gender. Menurut mereka bahwa dalam memahami Tuhan harus dimaknai
lebih Biblical dan inklusif untuk pengalaman perempuan.
5.
Doktrin
tentang Yesus Kristus
Yesus
Sebagai reinterpretasi dari Tuhan pencipta yang abstrak dibandingkan
direinterpretasikan sebagai manusia. Padahal menurut feminis Yesus harus
dipahami sebagai reinterpretasi dari keduanya. Sebagian feminis seringkali
bertanya mengapa kehadiran mereka sringkali diwakili oleh laki-laki, sebagian
dari mereka menjawab kelaki-lakian Yesus adalah fakta Historis bukan
kepantingan Teologis
6.
Doktrin
tentang Holy Spirit
Dalam
tradisi Kristen Holy Spirit seringkali diasosiasikan sebagai perempuan, baik
secara analogis maupun literal. Jika penggunaan term God bernuansa maskulin
maka feminis berupaya untuk menfeminisasikan Holy Spirit. Hal ini dikarenakan
Holy Spirit memiliki sifat-sifat feminine.
7.
Doktrin
tentang penciptaan
Tujuan
feminis merefleksikan pemahaman tentang doktrin penciptaan untuk mengatasi
pemikiran maskulinitas yang dualistic dan hirarkis dlam tradisi Kristen.
Menurut mereka ini tidak sesuai dengan doktrin agama.
8.
Doktrin
tentang Kemanusiaan
Feminis
mengkritik dualism hirarkis dalam kemanusiaan dalam kehidupan laki-laki dan
perempuan. Contohnya peran dan tanggung jawab laki-laki adalah di ranah public
dan perempuan di ranah domestic, cara pandang seperti ini dilegitimasi oleh
agama. maka dari itu mereka beragumen bahwa hal tersebut mesti diminimalisir
atau dihapus dalam memaknai kitab suci.
9.
Doktrin
tentang Dosa
Menurut
kalangan feminis bahwa dosa adalah bentuk-bentuk kehancuran hubungan sosial
baik laki-laki maupun perempuan, kaya miskin, budak dan orang merdeka.
10.
Doktrin
tentang Penebusan Dosa atau Keselamatan
Menurut
kalangan feminis keselamatan sangat berkaitan dengan perbincangan individual.
Struktur sosial yang terdistorsi harus diselamatkan, karena pada dasarnya
mereka melihat keselamatan sebagai pembenaran sekaligus pensucian.
11.
Doktrin
tentang Gereja dan Ministery
Kalangan
feminis menuntut agar dihilangkanya model-model hirarki yang tidak berdasarkan
kitab suci dan tidak manusiawi. Mereka juga menolak perbedaan antara orang awam
dan pendeta yang menyebabkan ketergantungan orang awam terhadap pendeta.
12.
Doktrin
tentang Eskatologi
Feminis Kristen
memandang bahwa eskatologi dalam ajaran Kristen seharusnya memasukkan
transformasi dari seluruh tatanan sosial yang berbasis pada kesetaraan dan
keadilan gender. Lebih dari itu, mereka menilak pandangan eskatologi masa depan
yang bersifat duniawi dan eskatologi yang direalisasikan secara spiritual,
sebaliknya mereka mengajukan eskatologi yang memelihara tensi antara apa yang
telah dilakukan dan transformasi sosial yang diharapkan.[14]
B.
Spritualisme dan Perubahan Peran Perempuan di Era Kristen Modern
Usaha Perjuangan Perempuan Kristen pada abad 19 sangatlah progresif,
dikatakan bahwa perempuan membuat kemajuan dalam bidang misis, organisasi dan
kepemimpinan, kini pengembangan sayap tidak hanya dibagian rohani saja
melainkan sudah ke luar rumah dan keluarga. Mereka berusaha membuat sesuatu
yang berbeda di masyarakat dengan alasan sosial dan keagamaan. Pelayanan kepada
yang sakit, kaum papa dan pelayanan yatim piatu, perempuan malam kembali
mendapat pelayanan dari pihak perempuan. Disisi lain ada yang menulis
karya-karya religius, diantaranya bahan untuk memahami alkitab. Bermunculan
pengkhotbah perempuan khususnya di Amerika , Diantaranta Clarissa Danforth,
Jerena Lee, Mary Cole, dan perempuan pertama yang ditahbiskan sebagai pendeta
yakni Antoinette L Brown.[15]
Lahir pula organisasi-organisasi yang menyuarakan hak-hak perempuan seperti
NOW (National Organitation for Women), organisasi ini bertujuan untuk
menyuarakan agar perempuan dapat setara dengan laki-laki, selain itu terbit
pula buku-buku yang menyuarakan hak-hak perempuan seperti the Feminine
Mysitique dan The second Stage. [16]
C.
Gerakan Reformasi Sosial Keagamaan untuk Kesetaraan Gender Abad
ke-20
Pada Abad ke 20 perjuangan Gender dikatakan sudah cukup menonjol dan
membawa perubahan besar pada masyarakat, kedudukan wanita abad ini banyak menduduki
keududukan di bagian managerial atau jabatan penting di perusahaan ataupun
tingkat pemerintahan, hal ini dikatakan sebagai bagian dari keberhasilan mereka dalam perjuangannya, dan aspek lain yang lebih
luas.
Genre baru dalam pemikiran kristen hadir di Abad 20 yang dibangun oleh para
mahasiswi sekolah teologi dan para teolog-teolog wanita, teologi baru ini
dikenal dengan teologi feminis, teologi ini memiliki cakupan yang cukup luas dan berkembang sehingga ada terbentuk beberapa
aliran teologi feminis, seperti feminis radikal, biblikal, liberal, dan
sebagainya.[17]
Di abad ke-20 ini pun lahir berbagai
macam gerakan perempuan dalam membela hak-haknya, dan tuntutan merekapun
semakin beragam. Perempuan menampakkan resistensinya terhadap hegemoni kaum
laki-laki pada Konvensi Hak-hak Perempuan di Akron, Ohio. Perempuan menuntut
dipenuhinya hak-hak mereka terkait hak sosial, hak pendidikan, dan hak pilih
melalui organisasi yang telah dibentuk seperti National Women’s Suffrage
Association (NWSA) dan American Women’s Suffrage Association (AWSA).[18]
Setelah terpenuhinya tuntutan mereka
di tahun 1920 yang tertuang dalam amandemen 19 Amerika Serikat, aktivitas
feminisme menurun aktivitasnya. Sampai pada tahun 1959, kondisi perempuan
kembali berada di bawah sistem patriarkhi, yang menempatkan perempuan pada
kelas kedua. Bahkan sebagian besar perempuan kembali berkeyakinan bahwa
kedudukan perempuan yang ideal adalah menjadi ibu rumah tangga, meski pada
realitasnya banyak juga perempuan yang bekerja di luar rumah.
Kesadaran akan ketertindasan
perempuan mulai muncul kembali bersamaan dengan terbitnya buku Betty Friedan
yang berjudul “The Feminine Mystique” di tahun 1960. Buku ini kemudian
menjadi teks yang mendasari munculnya feminis gelombang kedua. Friedan mengkaji
secara mendalam nasib perempuan Amerika. Ia menyimpulkan bahwa menjadi ibu dan
istri buat sebagian perempuan tertentu di Amerika Serikat tidaklah memadai.
Bila dilihat sekilas, seorang istri mungkin nampak bahagia dengan peran
tradisionalnya, tapi mereka sebenarnya merasakan kehampaan dalam dirinya. Namun
masalah ini tidak bisa dideteksi oleh perempuan itu sendiri. Karena itu, ia
menakaman masalah ini dengan istilah “Problem that has no name”
(permasalahan tanpa nama). Problem yang menjadi epidemic di Amerika Serikat
tersebut, terkait dengan realitas perempuan yang kehilangan otonominya,
sehingga mereka hanya mengabdikan diri sepenuhnya untuk kepentingan suami, anak
dan rumah tangganya. Kondisi ini terjadi karena perempuan dikungkung oleh the
Feminine Mystique yang menekankan bahwa nilai-nilai tertinggi dan
satu-satunya komitmen bagi perempuan adalah pemenuhan feminitas mereka.[19]
Kemudian Friedan menerbitkan buku
kedua dan ketiganya, yang berjudul The Second Stage dan The Fountain
of Age. Terdapat perbedaan di dalam ketiga buku Friedan. Di buku pertama,
dia mengajak para perempuan untuk turut aktif dalam berbagai aktifitas
kehidupan. Di buku kedua, dia merekomendasikan perempuan untuk menjadi
perempuan, hal ini mungkin karena Friedan mempertimbangkan kesulitan para
perempuan dalam mengatur antara karir, pernikahan, menjadi orangtua, dsb. Dia
menyarankan agar para perempuan berhenti mengambil dan memegang semuanya
sebagai perempuan super, dan dia menawarkan solusi agar para perempuan bekerja
dengan tidak mengabaikan cinta. Belakangan pemikirannya mengarah kepada
androgini, seperti yang dipaparkan dalam buku ketiganya, yang mana perlunya
laki-laki maupun perempuan secara bersamaan mengembangkan sisi maskulin dan
femininenya.
Friedan kemudian mendirikan National
Organization for Women (NOW) sebagai wadah perjuangannya. NOW
memperjuangkan diskriminasi gender secara tegas. Di antara beberapa isu yang
diperjuangkan NOW adalah:
a)
Amandemen
persamaan hak harus segera diloloskan oleh Kongres Amerika Serikat.
b)
Jaminan
kesempatan kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan, serta pentingnya
larangan atas diskriminasi ras.
c)
Perlindungan
hak-hak perempuan yang dijamin secara hukum, seperti hak cuti hamil dan
melahirkan tanpa adanya pemotongan upah, dan dapat kembali bekerja setelah masa
cuti habis.
d)
Revisi
hukum-hukum perpajakan agar dapat pemotongan untuk rumah dan perawatan anak.
e)
Fasilitas
pengasuhan anak dari pra-sekolah hingga remaja harus segera direalisasikan dan
dijamin secara hukum.
f)
Hak
pendidikan yang layak bagi perempuan dan dijamin oleh hukum di negara-negara.
g)
Hak
perempuan miskin untuk mendapatkan pelatihan kerja, perumahan, tunjanagan
keluarga setara dengan laki-laki.
h)
Hak-hak
perempuan untuk mengontrol hak-hak reproduksinya, dan tidak dibatasi akses
informasi untuk mendapat kontrasepsi, serta mencabut larangan aborsi.
Kemudian di abad ke-20 ini juga
banyak aliran feminis bermunculan, setelah munculnya feminis liberal kemudian
disusul oleh munculnya aliran feminisme radikal, marxis, sosialis yang mana
adanya perbedaan satu sama lain, sebagai respon atau ketidakpuasan dari
kalangan feminis sebelumnya.
Demikianlah sedikit gambaran tentang perempuan, agama, dan transformasi
sosial dalam agama Kristen.
D.
Penutup
Transformasi sosial dalam kristen dimuali abad
pertengahan, yakni sekitar awal tahun 1970 yang mana kaum perempuan mulai
menyadari arti penindasan yang dialami oleh perempuan termasuk dalam hal
teologi, seperti perendahan kedudukan perempuan dilingkungan greja dalam bentuk
larangan khatbah ataupun mengajarkannya kepada jamaat.
Feminis teologi liberal adalah bagian dari
kaum feminis yang dikatakan cukup moderat, hal yang paling menonjol adalah
faham bahwa perempuan juga bagian dari ciptaan tuhan yang memiliki potensi
rasional yang sama dengan laki-laki, kaum ini menuntuk rekontruksi tatanan
sosial dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, terlebih dalam hal pendidikan.
Ada beberapa doktrin kristen yang mereka kritik karena dianggap bersifat
patriarkhi.
Di Abad ke-20 gerakan feminis merasa ada pada
puncak pencapaian yakni perempuan sudah mampu berada pada posisi dan ruang
lingkup kebebasan yang cukup terbuka, seperti dalam ranah politik, pendidikan,
dan lain aspek.
Daftar Pustaka
·
Contemporary Feminis Ttheories, Newyork University Press, yang diterjemahkan
tim Jalasutra, Jakarta, 1998.
·
Ida
Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama. Cet.I, UIN
Jakarta Press, 2016.
·
Linwood, Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran
Kristen, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie, PT BPK Gunung Mulia, Cet. II. Jakarta, 2006.
·
M.
Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction: Christianity
and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S. Alexander, Cet.
I. Cambridge, 2010.
·
Retnowati, Perempuan-perempuan dalam
al-Kitab, Peran, Partisipasi, dan Perjuangannya, Cet.III., PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008.
·
http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/perempuan-dalam-lintasan-sejarah-kristen.pdf, diunduh pada hari Rabu, 23 Mmaret 2016.
·
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf, diunduh pada hari Rabu, 23 Mmaret 2016.
·
http://www.seabs.ac.id/journal/oktober2003/Sebuah%20Tinjauan%20Terhadap%20Teologis%20Feminis%20Krsiten%20(Ing%20Sian).pdf, diunduh pada hari Rabu, 23 Mmaret 2016
[1]
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[2]
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[3]
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[4] Sejarah Feminisme, http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-eighwikaku-27140-6-unikom_e-i.pdf hlm
12
[5] Ing Sian, Sebuah Tinjauan Teologis
Feminis Kristen, hlm 3
[6] Ibid, hlm 6
[7] Lie Ing Sian, Sebuah Tinjauan Teologi
Feminis Kristen, jurnal, hlm 8
[8]
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.51
[9] M.
Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction: Christianity
and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S. Alexander, h. 308
[10]
M. Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction:
Christianity and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S.
Alexander, h. 308
[11]
M. Christian Green, Christianity and Human Rights An Introduction:
Christianity and the Rights of Women, ed. John Witte, Jr. dan Frank S.
Alexander, h. 308
[12]
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.52
[13]
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.103
[14]
Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.101
[15] Perempuan dalam Lintasan Sejarah Kristen, http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/perempuan-dalam-lintasan-sejarah-kristen.pdf
[17] Lie Ing Sian, Sebuah Tinjauan Teologi
Feminis Kristen, jurnal, hlm 2
[18] Ida
Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.56
[19]
da Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, h.57
0 komentar:
Posting Komentar