KESETARAAN GENDER DALAM RUANG
LINGKUP KAJIAN DAN FIQH ISLAM
Oleh
Muhammad Lutfi
Muhammad Sahal
A. PENDAHULUAN
Sejak
diturunkan, risalah Islam telah menyelamatkan perempuan dari rusaknya peradaban
manusia yang tidak menghargai kaum hawa. Membunuh anak perempuan karena rasa
malu, menjadikan wanita barang warisan, memperlakukan wanita hanya sebagai
pemuas nafsu laki-laki dan sasaran pelampiasan kekerasan adalah hal yang ada
hampir diseluruh dunia sebelum datang Islam.
Islam
datang mengangkat permpuan dari derajat yang demikian menjadi kaum yang sangat
mulia, dengan beberapa keistimewaan. Memang Islam tidak mengekang perempuan.
Islam memperbolehkan perempuan bebas berkiprah di ranah publik. Karena itu
Islam mendorong perempuan untuk selalu mencari bekal untuk kemajuan dirinya
tanpa mengesampingkan tabiat perempuannya. Misalnya: perempuan diwajibkan
menuntut ilmu sama halnya dengan laki-laki, juga mereka diperbolehkan
mengaplikasikan ilmunya di berbagai lapangan kehidupan selama tidak
membahayakan harkat dan martabatnya.
Akan
tetapi, pasca runtuhnya khilafah Islamiyah di Turki, umat Islam termasuk kaum
muslimah mengalami kemunduran luar biasa diberbagai lapangan kehidupan.
Perempuan mulai terambil kemulyaannya, mereka sedang dan telah teracuni dengan
sistem yang sedang menguasai mereka, sistem sekular,[1]
yaitu upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan disegala bidang.
Gagasan ini menghendaki agar perempuan diberi hak-hak yang setara dengan
laki-laki (gender equality). Perempuan harus dibebaskan dari diskriminasi, dari
beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi
nilai-nilai budaya dan agama, beban itu antara lain sebagai ibu, hamil,
menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. [2]
Gagasan
tersebut masuk ke dunia Islam, negeri
Mesir, pada awal abad ke-20. Gagasan ini telah memberikan perubahan yang sangat
tampak pada busana perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan mulai terlihat
dijalan-jalan, mereka tidak lagi tinggal di dalam rumah, mereka aktif di ranah
publik.[3]
Agaknya
para aktivis perempuan Indonesia juga mengalami hal yang sama, dengan
menobatkan R.A Kartini sebagai pejuang emansipasi. Mereka mengambarkannya
sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hal
yang sama dan sejajar dengan laki-laki. Benarkah apa yang mereka perjuangkan
sejalan dengan perjuangan R.A Kartini?[4]
Film
wanita berkalung surban menjadi salah satu dari representasi kesalahan memahami perjuangan R.A. Kartini,
perjuangan Muslimah di era kejaan Islam serta teks-teks ajaran Agama. Kita bisa
menyaksikan perempuan disekitar kita, banyak dari mereka yang menuntut bahkan
memperjuangkan kebebasan untuk perempuan.
Kontes
ratu tercantik dunia, salah satu dari bentuk kekebasan berekspresi yang mereka
tuntut. Perempuan dengan hanya memakai pakaian bikini, adalah salah satu dari
unsur seni yang menawan, yang merupakan bagian dari industri kapitalisme, Miss
Universe dipilih untuk menjadi ujung tombak promosi produk.[5] Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kebebasan
yang mereka perjuangkan atas nama kesetaran.
Langkah
pemberdayaan perempuan ini oleh aktifis gender ditekankan pada kemandirian dan
kebebasan kaum perempuan di bidang ekonomi, perempuan didorong untuk mandiri
dalam finansialnya. Ketika perempuan telah mandiri, ia tidak lagi tergantung
pada laki-laki, peran domestic keluarga tidak lagi dipihak perempuan, harus ada
pembagian kerja. Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggungjawab perempuan. Yang
akhirnya tidak ada satupun baik laki-laki atau perempuan mengambil peran utama
dalam rumah tangga, karena keduanya berperan aktif diranah publik.
Bagaiman
dengan anak-anak? Bila ibu dan ayah tersita waktunya di sektor publik.
Finansial akan menyelesaikannya dengan menggaji pembantu, Negarapun dapat
mengambil alih dengan penyelenggaraan day care centre sebagaimana yang
diterapkan di Negara-negara skandinavia.
Pada
titik ini, kehancuran institusi keluarga muslim akan semakin jelas. Peran
kepemimpinan (qowamah) yang dibebankan pada laki-laki akan melemah, karena para
perempuanpun menuntut kepemimpinan tersebut, apalagi bila gaji istri lebih
tinggi dari suami. Peran keibuan (ummah) dan pengelola rumah tangga (robbatul
bait) akan terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam
melahirkan generasi berkwalitas.[6]
Dalam
makalah ini kami menjelaskan perjuangan gender dan feminisme, dari awal mulanya
sampai pada masa kita sekarang, gejala-gelaja yang Nampak dalam masyarakat
akibat dari tidak adanya keadilan dan kesetaraan gender, dan bagaimana Islam
menempatkan perempuan baik dalam sektor domestik dan public, sehingga Nampak
bagi kita apakah benar Islam mendiskriminasi perempuan, mengekang perempuan,
tidak memberikan hak-haknya seperti yang mereka tuduhkan pada Islam. Juga di
penutup makalah ini ditawarkan solusi pemberdayaan perempuan, dengan harapan
perempuan terutama muslimah bisa lebih berhati-hati menerima tawaran-tawaran
pemberdayaan dan kesejahteraan perempuan yang diberikan dari konsep kesetaraan
gender yang justru berbalik menjadi eksploitasi dirinya dan waktu bersama
anak-anak dan keluarga tersita untuk memenuhi ajakan yang bersifat fatamorgana
B. SEKILAS TENTANG GENDER DAN FEMINIS
1. ARTI GENDER
Kata
gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris gender yang berarti jenis
kelamin.[7]Mansoour
Fakih dalam makalahnya ia menuliskan bahwa
gender and society adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat
tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (seks) adalah kodrat
tuhan, karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral
differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed yakni
perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan tuhan, melainkan diciptakan
melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Oleh karena itu gender berubah
dari waktu kewaktu, dari tempat ke
tempat yang lain, serta dari kelas ke kelas yang lain.[8]
Menurut
Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender adalah perilaku atau pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di
masyarakat tertentu, pada masa dan waktu tertentu pula. Gender ditentukan
oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin
yang ditentukan oleh Tuhan.[9]
Menurut
Zaitunah Subhan: ada dua perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pertama
perbedaan kodrati, perbedaan ini bersifat mutlak dan mengacu pada hal-hal yang
bersifat biologis. Perempuan memilliki rahim, payudara, ovarium, haid, hamil,
melahirkan dan menyusui. Pria memiliki penis, dilengkapi dengan scortum dan
sperma untuk pembuahan. Kedua: perbeda an
non kodrati yaitu perbedaan yang dihasilkan oleh interpretasi social atau
sering disebut dengan social contruction. Perbedaan bersifat non kodrati, tidak
kekal, sangat mungkin berubah dan berbeda-beda berdasarkan ruang dan waktu.
Perbedaan ini tidak berlaku umum, perannya bisa diubah, ditukarkan atau menjadi
nurture.[10]Pemakaian
gender dalam wacana feminis pertama kali dicetuskan oleh Anne Oakley.[11]
Perbedaan
antara seks dan gender berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik
tertentu, termasuk kromoson dan genetika. Sementara identitas gender lebih
banyak dibentuk oleh persepsi sosial dan budaya tentang stereotip perempuan dan
laki-laki dalam sebuah masyarakat.
Predikat
laki-laki dan perempuan di masyarakat sekarang dianggap sebagai sebuah simbol.
Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik “kejantaan”
(masculinity), sedangkan perempuan diidentifikasikan sebagai orang yang
memiliki karakteristik “kewanitaan” (feminity). Perempuan dipersepsikan sebagai
manusia yang cantik, langsing dan lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan
sebagai manusia perkasa, Anggapan seperti ini dengan sendirinya akan memberikan
peran lebih luas kepada laki-laki dan pada saatnya laki-laki memperoleh status
sosial yang lebih tinggi dari perempuan.[12]
Dalam
masyarakat seperti ini laki-laki diposisikan sebagai makhluk yang berkuasa atau
superior terhadap perempuan diberbagai sektor kehidupan baik itu domestik
maupun publik. Gender yang semula merupakan interaksi social yang setara antara
laki-laki dan perempuan bergeser menjadi hegemoni laki-laki terhadap perempuan.[13]
Sedang
istilah feminisme lebih bersifat subjektif. Sehingga penggunaannya sering
menimbulkan kebingungan dan memicu munculnya berbagai definisi dari kata
feminism.[14]
Sebenarnya setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan dan diskriminatif
yang di alami perempuan karena jenis kelaminnya dan mau melakukan sesuatu untuk
mengakhiri ketidakadilan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai
feminis.[15]
Gerakan feminis ini muncul sebagai
akibat dari kesadaran perempuan terhadap hegemoni laki-laki terhadap mereka.
Perjuangan ini bertujuan untuk mengambil hak-hak kemanusiaan mereka untuk
menemukan kesetaran gender.
Gerakan Women’s liberation di
Amerika merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan feminism. Usaha-usaha
terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender pertama kali muncul
di Amerika Serikat.[16]
Tahun 1800 gerakan ini mulai berkembang diberbagai Negara, peran perempuan
dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan berangsur-angsur meningkat[17].
Dengan semakin maraknya gerakan feminism di Barat sejak akhir 1960-an semakin
banyak pula perempuan yang mendapat kesempatan berpartisipasi dalam lapangan
pekerjaan seperti laki-laki. Namun dibalik kemajuan perempuan dalam
partisipasinya di dunia maskulin, banyak yang mengkritik bahwa kondisi
perempuan bukan menjadi lebih baik, tetapi menjadi memburuk[18]
Kondisi
perempuan yang semakin memburuk itu membuat kaum perempuan mempertanyakan
kembali kebebasan yang dulu pernah mereka miliki. Pejuang feminism mulai
mengkaji kembali ide dan gagasan yang pernah mereka perjuangkan. Hingga pada
akhir tahun 1960-an dan sepanjang tahun 1970-an
konsep gender mulai diperjuangkan dalam tataran strategis.[19]Upaya
menanamkan nilai-nilai gender di mulai melalui konferensi-konferensi dan
konggres-konggres yang diikuti oleh perwakilan kaum perempuan dari berbagai
Negara. Dari konferensi dan konggres tersebut lahirlah ide dan gagasan baru
untuk menyelamatkan perempuan dari ketidakadilan, agar perempuan mendapatkan
kembali hak-haknya, mendorong perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender dan
untuk memberdayakan kaum perempuan.[20]
Pada
1952 digulirkan mengenai kovensi hak politik perempuan. Di Kopenhagen 1980
diadakan konferensi dunia UN Mid decade of women yang mengesahkan konvensi
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada 1985
diadakan world Conference on Result on Ten Years Woment Movement di Nairobi
yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward Strategi for the Advecement of
Woman. Di Vienna 1990 diadakan 34 th Comission on the status of women. Tahun
1994 di adakan konferensi Beijing plat form and action (BPFA). [21]
Pada
tahun 1995 inilah mulai dikenalkan wawasan gender and development (GDA) dengan
penekanan pada kesadaran tentang kesetaraan gender (gender equality) dalam
menentukan pembangunan. Ada 12 bidang yang dianggap kritis dalam BPFA yaitu:
perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, perempuan
dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dan konflik bersenjata,
perempuan dan ekonomi, perempuan dalam pengambilan kekuasaan, mekanisme
institusional untuk kemajuan perempuan, hak asasi perempuan, perempuan dan
media, perempuan dan lingkungan serta anak perempuan.[22]
2. LANDASAN TEORI KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Sejak
tahun 1990, UNDP (United Nations Development Report) melalui laporan berkalanya
“ Human Development Report (HDR) menetapkan indikator baru dalam menilai
keberhasilan pembangunan suatu Negara, yang sebelumnya hanya diukur dengan GDP
(Growth Domestic Product). Indikator baru tersebut dikenal dengan Human
Development Indexs (HDI) yang meliputi tiga aspek yaitu: usia harapan hidup
(life expectancy), angka kematian bayi (infant moertality Rate), dan kecukupan
pangan (food security). Pada tahun 1995, UNDP menambah konsep HDI dengan konsep
kesetaraan gender (gender equality) dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan
suatu Negara.
Perhitungan
yang dipakai adalah Gender Development Index (GDI) yaitu kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan dan jumlah
pendapatan, serta Gender Empowerment Measure (GEM) yang mengukur kesetaraan
dalam partisipasi politik dan dalam sector lainnya. Ukuran ini bertitik tolak
pada konsep kesetaraan sama rata. Misalnya, apabila rata-rata laki-laki dan
perempuan sama-sama berpenghasilan dua juta rupiah setahun, menerima pendidikan
sama-sama sepuluh tahun atau proporsi yang aktif dalam politik sama-sama 20 %,
maka angka GDI dan GEM adalah 1, atau telah terjadi perfect equality. Konsep
kesetaraan kuantitatif (50/50) inilah yang diidealkan oleh UNDP, sehingga
lembaga ini mengharapkan seluruh Negara di dunia dapat mencapai kesetaraan yang
demikian[23]
Menurut
Ratna Megawangi, dalam bukunya membiarkan berbeda, landasan teori yang tepat
untuk menempatkan kesetaraan gender 50/50 terdapat dalam paradigma sosial
konflik. Paradigma ini dipelopori oleh Karl Marx dan friedrich Engels. Engles
menganalogikan hubungan suami istri dalam keluarga sebagai hubungan kelas
kapitalis dan proletar. Collins (1975) yang menerapkan teori dalam keluarga dan
masyarakat dalam pola relasi sosial.
Marx-Engels menganalisa kedudukan perempuan dalam keluarga dan
masyarakat. Kaum laki-laki diibaratkan sebagai kaum borjuis dan perempuan
sebagai kaum proletar yang tertindas baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual
dan pembagian property dalam keluarga. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keluarga
menjadi institusi untuk melanggengkan sistem patriarkat, dimana kedudukan suami
istri dan anak-anak tetap pada posisi vertikal dan dianggap sebagai struktur
ideal.[24]
Sistem
patriarkat ini ditolak oleh para feminis dan mereka berusaha mewujudkan sistem
yang lebih egaliter. Dalam pandangan mereka sistem patriarkat ini dapat
diruntuhkan dengan transformasi social yaitu perobakan sistem social yang ada,
yaitu wanita perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya
setara dengan laki-laki, untuk itu wanita perlu mengadopsi kualitas maskulin
agar mampu bersaing dengan laki-laki.
3. PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
Dalam uraian diatas dapat difahami
adanya pergeseran relasi gender yang menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan
gender tersebut telah termanifestasi dalam berbagai bentuk, diantaranya[25]
a. Terjadinya Marginalisasi (peminggiran).
Peminggiran banyak terjadi dalam
bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang
tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan
yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang
mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat
kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan,
tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan
(teknologi).[26]
b. Terjadinya Subordinasi (penomorduaan)
Anggapan bahwa salah satu jenis
kelamin dianggap lebih utama di banding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dulu
ada sebuah pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih
rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran agama maupun
birokrasi yang meletakkan perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki.
Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai yang membatasi ruang gerak
perempuan dalam kehidupan.[27]
c. Adanya pandangan Stereotype.
Pelabelan negatif secara umum selalu
melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan
pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan).
Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya
melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik. Apabila
seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau
tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai
terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut
banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu
rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti
berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari
nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh
perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak
diperhitungkan.[28]
d. Berbagai bentuk tindak kekerasan (violence) terhadap perempuan
sebagai akibat perbedaan gender.
Banyak
sekali terjadi kekerasan yang dialami perempuan, mulai dari kekerasan fisik
seperti pemerkosaan dan pemukulan, juga kekerasan dalam bentuk yang lebih halus
seperti pelecehan seksual (sexual Harassment) dan penciptaan ketergantungan.[29]
e. Bentuk lain dari diskriminasi dan
ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh Perempuan.
Dalam
suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki,
dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan
perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga
bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. [30]
Semua
manifestasi ketidakadilan tersebut saling terkait dan mempengaruhi, dan ini
tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan yang lambat laun akhirnya
laki-laki dan perempuan terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran gender itu seolah-olah menjadi kodrat.
C. GAMBARAN PEREMPUAN DALAM FIQIH ISLAM
Di
luar agama Islam banyak kaum perempuan yang berjuang untuk mendapatkan
hak-haknya. Perempuan Nasrani misalnya,
harus berjuang keras agar pendapat mereka didengar dan lebih lanjut perjuangan
ini menyebabkan perubahan yang ekstrim dalam teks-teks bible sehingga tidak
terkesan sexist dan lebih dapat diterima oleh kaum perempuan.[31]
Sepanjang
abad ke-19 perempuan Inggris tidak mendapatkan hak waris dan tidak
diperbolehkan menyimpan penghasilannya, tidak mempunyai hak pilih sampai pada
tahun 1975 mereka menuntut hak mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki.[32]
Lain halnya dengan Islam. Agama yang mulia ini telah menempatkan perempuan
sebagai mitra laki-laki bukan makhluk nomor dua dan telah memberi perempuan
hak-haknya secara adil sehingga seorang
muslimah tidak perlu lagi meminta, menuntut bahkan memperjuangkannya. Bahkan
apabila seorang muslimah menginginkan surga, akan mudah ia raih dari pada kaum
laki-laki.
Dialog
yang terjadi antara shabiyah Asma’ binti Yazid dengan baginda Rasulullah SAW,
menjadi representasi dari teraihnya surga bagi perempuan hanya dengan
melaksanakan tanggungjawabnya di dalam
rumah tangga dan selalu taat pada suami. Asma’ berkata: wahai Rasulullah SAW
bukankah engkau diutus oleh Allah untuk kaum laki-laki dan wanita, kenapa
sejumlah syariat berpihak kepada kaum pria, mereka diwajibkan jihad kami tidak,
malah kami mengurus harta dan anak-anak mereka dikala mereka sedang jihad,
mereka diwajibkan sholat jum’at kami tidak, mereka diperintah mengantar jenazah
sedangkan kami tidak, Rasulullah SAW tertegun atas pertanyaan perempuan ini,
sambil berkata kepada para shahabat, “ perhatikan betapa bagusnya pertanyaan
perempuan ini, Beliau melanjutkan: wahai Asma’! sampaikan jawaban kami kepada
seluruh perempuan dibelakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam
berumah tangga dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum
laki-laki itu”. (Diterjemahkan secara bebas, HR. Ibnu Abdil Bar).[33]
Islam
telah menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat, dan jika difahami
dengan benar teks-teks al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah SAW, maka kita
temukan bahwa Islam memberikan keistimewaan untuk perempuan dan jika di
praktekkan dengan benar, perbedaan gender merupakan sunatullah yang bertujuan
untuk menjaga keseimbangan kehidupan.
Nasaruddin
Umar mengatakan: ada lima prinsip kesetaraan dalam Al-Qur’an yaitu: sama-sama
sebagai hamba, sama-sama sebagai kholifah, sama-sama menerima perjanjian
primordial, terlibat secara praktis dalam drama kosmis dan berpotensi meraih
prestasi.[34]
Posisi perempuan yang digambarkan
dalam Fiqh islam adalah sebagai berikut:
1.
Dalam kehidupan berumah tangga, perempuan sebagai pendamping suami.
Al-Qur’an menegaskan bahwa asal penciptaan
laki-laki dan perempuan adalah satu (min nafsin wahidatin)[35].
Asal penciptaan yang sama inilah, keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Dalam kehidupan berumah tangga laki-laki
sebagai pemimpin dan bertanggungjawab terhadap apa yang dibawah
kepemimpinannya.[36]
Kata Qowwamah[37]yang
berarti pemimpin sering diinterpretasikan sebagai penindasan dan ketidakadilan
terhadap perempuan. Tugas kepemimpinan laki-laki (suami) dalam ayat tersebut
hanya terbatas pada institusi keluarga, karena dalam pandangan Islam keluarga
adalah titik awal yang mempengaruhi semua fase perjalanan hidup manusia dan
merupakan unit pembangunan pertama.[38]
Makna
kepemimpinan disini tidak untuk mendholimi atau menindas satu sama lain, tetapi
agar perkara tersebut dapat berjalan dengan lancar. Adanya tanggung jawab kepemimpinan
pada laki-laki adalah peran yang dibebankan Allah SWT sebagaiman Allah
menetapkan peran melahirkan, pengasuhan dan pemeliharaan generasi ada pada
perempuan. Masing-masing peran
dibebankan sesuai dengan potensi dan kelebihan yang dimilki.[39]
Kepemimpinan
laki-laki tersebut juga tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi,
termasuk dalam kepemilikan harta pribadi dan pengelolaannya baik itu harta yang
didapatkan dari hak waris atau dari usahanya sendiri walaupun tanpa persetujuan
suami atau wali. Oleh karena itu mahar dalam Islam harus dibayar untuknya
sendiri, bukan untuk orang tuanya dan tidak boleh diambil oleh suami. Dan
sebagai bukti kesempurnaan pengelolaan harta pribadinya setelah menikah adalah
perempuan berhak untuk tetap menggunakan nama keluarganya sendiri dibelakang
namanya.[40]
Perhatian
Islam terhadap perempuan (istri) tidak berhenti sampai disini. Perlakuan dan sikap yang baik terhadap
perempuan disejajarkan oleh Rasulullah SAW dengan kesempurnaan Iman seseorang.[41]
Negara
Skandinavia adalah Negara yang menurut UNDP (United Nations Development Report)
berhasil melaksanakan konsep gender (gender equality) 50:50, justru sebaliknya,
di sana terjadi banyak kerusakan struktur sosial, angka perceraian meningkat
100% dalam waktu 20 tahun, presentasi anak yang dilahirkan diluar nikah
melebihi 50%, kriminalitas meningkat 400%(1950-1970) Juga di negera Amerika
terdapat rumah pengasingan untuk perempuan-perempuan yang ditinggalkan
suami-suami mereka dalam menikmati perempuan yang lain. Rumah tersebut memang
terlihat menarik dari bagunannya , karena terdapat lukisan karya seni, sehingga
tidak tampak dari luar bahwa bangunan tersebut adalah karantian buat perempuan.[42]
Dari
contoh dua Negara di atas, menggambarkan pada kita bahwa konsep kesetaraan yang mereka tawarkan
terbukti tidak bisa menjamin kebahagian perempuan. Dengan demikian Islam telah menumbangkan
sistem sosial yang tidak adil terhadap perempuan dengan sistem yang adil.
Sehingga dalam ajaran Islam tidak memungkinkan untuk memiskinkan (marjinalisasi),
diskriminatif dan subordinasi terhadap perempuan.
2. Dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan
adalah mitra laki-laki.
Tugas
pokok seorang perempuan untuk menjalanankan peranannya sebagai ibu dari
anak-anaknya dan sekaligus pengatur rumah tangganya tidak berarti membatasi
aktivitasnya hanya pada ini saja. Akan tetapi dalam saat yang bersamaan Islam
memberikan peranan kepada perempuan dalam kedudukannya sebagai anggota
masyarakat.
Islam
membolehkan perempuan untuk bekerja di luar rumah, baik dalam mendukung
pembangunan masyarakat atau untuk menopang ekonomi keluarganya.[43]
Tetapi sekalipun perempuan boleh bekerja diluar rumah, dia harus tetap
memperhatikan bahwa aktivitasnya diluar rumah tidak melalaikannya pada tugas
pokoknya, dia juga harus melakukannya dalam keadaan tetap terikat dengan dengan
hukum-hukum syara’.[44]
Contoh yang sekarang dianggap sebagai lapangan
pekerjaan, yang menawarkan jutaan bahkan miliaran rupiah, menjadikan perempuan
baik itu anak-anak atau dewasa berebut. Adalah miss universe ajang kontes
kecantikan, yang memamerkan tidak hanya sekedar intelektualitas perempuan,
melainkan pamer keindahan tubuh perempuan adalah tujuan pokoknya. Tidak
berlebihan apa yang dikatakan oleh bapak Daoed Yoesoef, mantan menteri
pendidikan dan kebudayaan di tahun 1978:
“Pemilihan
ratu-ratuan seperti yang dilakukan sekarang adalah suatu penipuan, disamping
pelecehan terhadap hakikat keperempuanan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain
dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu, perusahaan kosmetik, pakain
renang, rumah mode, salon kecantikan dengan mengeksploitasi kecantikan yang
sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitive dan nafsu elementer
laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah”.[45]
Dalam
kehidupan sosial politik, Islam memberikan peluang sama pada laki-laki dan
perempuan untuk ikut berperan dalam masyarakat. Islam memberikan hak memilih
pemimpin atau wakil yang akan menyampaikan aspirasinya, atau dia menjadi wakil
orang lain.[46]
Seperti yang dilakukan shahabiyah Ummu Ammarah binti Kalb dan Asma’ binti Amr
ibn ‘Adi, dalam peristiwa baiat ‘Aqobah pertama tahun ke-13 kenabian. Mereka
berdua membaiat Rasulullah SAW untuk selalu tunduk pada perintahnya, dan
melindunginya.[47]
Islam
juga mewajibkan kepada perempuan untuk melakukan koreksi terhadap pemerintah,
karena aktivitas ini merupakan aktivitas amr ma’ruf nahi munkar.[48]
Dan Islam juga membolehkan perempuan untuk menyampaikan pendapatnya, seperti
yang dilakukan Kholwah binti Tsa’labah ketika menyampaikan tindakan suaminya
kepada Rasulullah SAW.[49]
Tegasnya,
banyak peran positif yang dapat dilakukan perempuan tanpa harus keluar dari
kodratnya sebagai perempuan. Tentu saja dia harus pandai mengatur waktunya
sehingga aktivitasnya di masyarakat tidak mengganggu bahkan mengabaikan
tanggungjawab utamanya sebagai Ummun wa Robbatul Bait (Ibu dan pendidik
keluarganya).
Dan
Islam telah mempunyai konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa
ada diskriminasi apapun, yang membedakan antara keduanya dihadapan hukum syara’
adalah kualitas keimanannya.[50]
3. Perempuan sebagai pencetak generasi
berkwallitas.
Dalam
syair Arab disebutkan: ”Ibu adalah madrasah pertama, yang apabila kamu
mempersiapkan denngan baik, berarti kamu mempersiapkan generasi yang baik
akarnya, ibu adalah guru dari sekian guru yang penting, pengaruhnya menjangkau
seluruh dunia.
Generasi yang berkwalitas adalah menjadi
harapan ummat. Yaitu generasi yang mampu membangkitkan dan mengembalikan
kejayaan Islam seperti pada masa fajrul Islam.
Perempuan
sebagai ibu dan robbatul bait dituntut untuk memelihara dan mendidik anaknya
semenjak masih dalam kandungan sampai anak menjadi dewasa dan mandiri, mampu
untuk menentukan sikapnya dan mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Bukan berarti laki-laki (suami/ayah) terlepas dari tugas tersebut.
Dalam
masa inilah peran ibu menentukan, karena baik buruknya anak di kemudian hari
ditentukan oleh benar salahnya pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua,
dalam hal ini yang sangat berperan adalah ibu.[51]Ketika
orang tua memahami bahwa anak adalah amanah Allah, mereka akan senantiasa
memilih bentuk, cara serta lingkungan pendidikan dan pergaulan pada umumnya
bagi anak-anak mereka, mereka tidak hanya berorientasi ke masa depan dengan
makna sempit (dunia) serta material semata, tetapi lebih jauh dan lebih penting
adalah orientasi ukhrawi.[52]
Karena
orang tua terutama ibu bukan hanya sekedar sebagai induk buat anak-anak yang
membesarkan mereka kemudian melepaskannya untuk hidup mandiri. Namun misi
keduanya adalah sangat agung dan berat yaitu mendidik dan membina mereka hingga
memiliki karakter ahli surga.
Perempuan
(ibu) adalah pencetak generasi khairu ummah. Ia melahirkan, mengasuh, mendidik,
membina….bukan pekerjaan yang mudah dan murah. Bukan pekerjaan yang dapat
disempurnakan tanpa meningkatkan mutu diri. Mengawal proses tumbuh kembang
anak, menuntunnya untuk mengenal Allah Tuhan yang menguasai jiwanya dan
mentaati perintahNya, membimbingnya agar mampu mengatasi persoalan hidup yang
kain komplek sesuai dengan aturan Allah SWT. Peran yang sangat menentukankan
warna generasi berikutnya.
Seorang
feminis, Alice Rossi, mengubah pendapatnya. Tahun 1960 berpendapat bahwa
stereotyp perempuan bukan karena nature (alami) melainkan adanya sosialisasi,
kemudian tahun 1978 berpendapat, perbedaan peran gender bukan karena faktro
sosialisasi melainkan bersumber pada keragaman antarsex yang mempunyai tujuan
fundamental untuk kelangsungan hidup manusia. Alice juga berpendapat bahwa
tidak ada satu masyarakat pun yang dapat menggantikan figur ibu sebagai
pengasuh, kecuali dalam kasus-kasus yang jarang terjadi di mana ada perempuan
tertentu terdeviasi dari kecenderungan sifat normalnya.[53]
Sungguh tiga posisi yang dimiliki perempuan
ini, menempatkan perempuan benar-benar menjadi mar’ah sholehah yang digambarkan
oleh Rasulullah SAW sebagai perhiasan dunia.
Namun banyak sekali kaum perempuan yang tidak bisa dan atau kurang
memahami Islam sebagai aturan
kehidupannya dengan baik dan benar dikarenakan dua hal, seperti yang dikatakan
oleh Prof. Hasbi As-Shidiqik: pertama: kaum perempuan intelektual tidak
mengetahui dengan jelas dan sempurna tujuan-tujuan Islam, tidak merasakan
kelebihan dan keutamaan Islam karena mereka mengetahui hanya dari
gambaran-gambaran kehidupan yang ada sekarang. Kedua: pihak yang mendasarkan
perjuangannya pada Islam tidak sanggup membuktikan keindahan Islam yang dapat
memuaskan pihak lain dalam realitas keseharian.[54]
4.Posisi yang sama di hadapan Tuhan
Tidak dibedakan satu dengan yang lainnya.
Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah
sebagai hamba-hamba-Nya. Berikut adalah petikan ayat-ayat al Qur`an yang
menjelaskan tentang pandangan Islam dalam hal ini:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia
melainkan untuk beribadah kepada-Ku[55]
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” [56]
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun.” [57]
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ
مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Maka Tuhan
mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki
atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”
(QS. Ali Imran [3]: 195)
Mujahid berkata, “Ummu Salamah
pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, kami tidak mendengar penyebutan wanita dalam masalah hijrah
sedikitpun?” maka turunlah ayat ini.”[58])
5.Perbedaan
kodrat
Namun
demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan setara dalam
segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial,
pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Karena,
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita
terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan
kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan
perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal,
kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.
Apalagi
wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan,
menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika kita
kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan
kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Syaikh
Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Bertolak dari perbedaan mendasar ini,
sejumlah hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang Mahaadil dengan
perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang
disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan masing-masing dari
keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya saling melengkapi satu sama lain
dan dengannya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan seimbang.” [59]
Dari
sisi ini pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah artikel bertajuk
“Muqâranatu al Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna al Rajul wa al
Mar`ati wa al Nadzrah al Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah” menjelaskan, bahwa
pandangan Islam dalam model hubungan antara laki-laki dan wanita adalah
hubungan saling melengkapi, bukan hubungan persaingan sebagaimana yang
diinginkan oleh konsep sekuler.
Allah berfirman menghiyakatkan
perkataan istri Imran,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan anak
laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” [60]
Dari
sini, kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab: musâwâtu) antara laki-laki
dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam Islam memandang
keadilan antara laki-laki dan wanita, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan
bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah menempatkan
sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya.
Sementara [61]
Hukum Syariat antara Laki-laki dan
Wanita
Di
antara ketetapan syariat yang Allah khususkan bagi laki-laki adalah soal
kepemimpinan. Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [62]
Posisi
strategis ini Allah berikan kepada laki-laki karena ia sesuai dengan tabiat dan
kodrat penciptaannya, sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam rumah tangga,
laki-laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab menjaga dan memelihara urusan
orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya dari para istri dan anak-anak,
termasuk menjamin pakaian, makanan dan rumah mereka.
Bahkan,
tidak hanya urusan-urusan dunia mereka, namun juga dalam urusan agama mereka.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Laki-laki adalah pemimpin/penanggungjawab
bagi wanita, dalam hal agamanya, sebelum dalam hal pakaian dan makanannya.
Dengan catatan, kepemimpinan atau
kekuasaan seorang laki-laki atas wanita itu bermakna penjagaan, perhatian dan
pengaturan, bukan dalam arti kesewenang-wenangan, otoritarian dan tekanan.
Begitu
pula dalam kepemimpinan pada ranah-ranah publik seperti jabatan kepala negara,
kehakiman, menejerial, atau perwalian seperti wali nikah dan yang lainnya,
semua itu juga hanya diberikan kepada laki-laki dan tidak kepada wanita.
Dalam
ibadah dan ketaatan, laki-laki secara khusus dibebani kewajiban jihad, shalat
jum’at dan berjamah di masjid, disyariatkan bagi mereka adzan dan iqamah.
Syariat juga menetapkan perceraian berada di tangan laki-laki, dan bagian waris
dua bagi laki-laki dan satu untuk wanita.
Adapun
hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita juga banyak. Baik dalam ibadat,
muamalat dan lain-lain. Bahkan sebagian para ulama menulis secara khusus
buku-buku yang berkaitan dengan hukum-hukum wanita. [63]
Sikap Seorang Mukmin dan Mukminah
Syaikh
Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah menyimpulkan, dari perbedaan-perbedaan
hukum yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, maka ada tiga sikap yang harus
kita ambil:
Pertama,
beriman dan menerima perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan wanita baik
secara fisik, psikis, atau hukum syar’i, serta hendaknya masing-masing merasa
ridha dengan kodrat Allah dan ketetapan-ketetapan hukum-Nya.
Kedua,
tidak boleh bagi masing-masing dari laki-laki atau wanita menginginkan sesuatu
yang telah Allah khususkan bagi salah satunya dalam perbedaan-perbedaan hukum
tersebut dan mengembangkan perasaan iri satu sama lain disebabkan
perbedaan-perbedaan tersebut. Oleh karena itu Allah melarang hal itu dengan
firman-Nya,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [64]
Tentang
sebab turunnya ayat ini, Mujahid menuturkan, “Ummu Salamah berkata, “Wahai
Rasulullah, mengapa laki-laki berperang sementara kami tidak? Dan mengapa kami
hanya mendapatkan setengah dari harta waris? Maka turunlah ayat ini.”
(Diriwayatkan oleh al Thabari, Imam Ahmad, Hakim dan yang lainnya)
Ketika,
jika al Qur`an dengan jelas melarang untuk sekedar iri, maka apalagi
mengingkari dan menentang perbedaan-perbedaan syar’i antara laki-laki dan
wanita ini dengan cara memropagandakan isu kesetaraan gender. Hal ini tidak
boleh bahkan termasuk kekufuran. Karena ia merupakan bentuk penentangan
terhadap kehendak Allah yang bersifat kauni yang telah menciptakan laki-laki
dan perempuan dengan perbedaan-perbedaan tabiat tadi, sekaligus bentuk
pengingkaran terhadap teks-teks syar’i yang bersifat qath’i dalam pembedaan-pembedaan
hukum antara keduanya. [65]
D.PENUTUP
Allah
SWT menciptakan dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan, memberi keduanya
hak dan kewajiban. Manusia dikaruniai
potensi akal (kemampuan berfikir) yang sama, mereka juga mempunya potensi hidup
yang sama yang terdiri dari kebutuhan jasmani dan naluri. Naluri ini meliputi;
naluri beragama, naluri mempertahankan diri dan naluri melestarikan jenis
manusia. Akal, kebutuhan jasmani dan naluri pada manusia bersifat fitrah atau
sering dikatakan sebagai sifat kodrati yang melekat pada penciptaan manusia.
Selain kesamaan dalam penciptaan, laki-laki
dan perempuan juga memiliki kekhususan-kekhususan sesuai dengan jenis
masing-masing. Baik itu perbedaan yang bersifat fisik seperti struktur tubuh,
organ reproduksi dan lain-lain, atau yang bersifat psikis.
Untuk
itu sungguh sangat tepat apabila Islam menempatkan hak dan kewajiban yang sama
pada laki-laki dan perempuan dan menempatkan kekhususan hak dan kewajiban
berdasarkan jenis masing-masing. Perempuan diberi tanggung jawab utama sebagai
ibu dan pengelola rumah tangga, dengan perannya yang sangat besar disektor
domestik, sementara laki-laki diberi beban sebagai kepala rumah tangga yang
melindungi, mengayomi dan memenuhi kebutuhan sektor domestik.
Sebagai
manusia laki-laki dan perempuan diberi kesempatan yang sama untuk berkiprah
disektor publik dalam rangka meraih kemaslahatan bersama dan menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar di masyarakat. Semua
ini akan menjamin terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang saling melengkapi,
harmonis dan jauh dari ketimpangan.
Agar
perempuan dapat melaksanakan tugas dan perannya dengan baik dan sempurna, Islam
memberikan perintah agar selalu meningkatkan kwalitas ilmu yang dibarengi
dengan iman. Juga diperlukan menjadikan daurah sebagai gerakan nasional hingga
tingkat akar rumput (grass root) terkait hakikat KKG, mengaktifkan para aktivis
perempuan Islam ditengah masyarakat kecil, Meningkatkan solidaritas internal
kaum perempuan, serta harus digelorakan terus perjuangan untuk menegakkan
Syariah dan penolakan terhadap sekularisme.
Jika
kita kembalikan konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan pada syariat Islam,
manusia tidak akan lagi memperjuangkan bahkan menuntut hak dan keadilan dalam
bermasyarakat, karena Islam telah memberikannya jauh sebelum kaum feminis
memperjuangkan kesetaran gender.
Terakhir,
makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik. Terima kasih
dan Walluhu a’lam bis showab…..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qu’an Al-karim
Aliansi Penulis pro Syari’ah,
Keadilan dan kesetaraan gender, tipu daya penghancuran keluarga, 2007.
Dr. Mansour Fakih, Analisa gender
dan transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1983.
Ismail Adam Patel, Perempuan,
Feminism dan Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, 2005
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir wanita,
Pustaka al-Kautsar, Jakarta, Edisi Indonesia, 2003
Imam Abi Zakariya bin Syarof
An-Nawawi, Riyadlus Sholihin, terjemahan, Pustaka Imani, Jakarta 1996.
John M. Echols dan Hassan Shadily,
Kamus bahasa Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta 1983
Kadarusman, M.Ag, Relasi Gender dan
Feminism, Kreasi Wacana, Jogjakarta 2005
Majalah Al-Wa’ie, Media politik dan
Dakwah
Ratna Megawangi, Membiarkan berbeda,
sudut pandang baru tentang relasi gender, Mizan, Jakarta, 1999.
Membincang Feminism diskursus gender
prespektif Islam, Risalah Gusti,
Surabaya 2000
Siti Juwariyah, Tesis: Kesetaraan
gender dan seks serta pengaruhnya dalam pendidikan Islam, Universitas
Muhammadiyah Surabaya, 2005.
Tim Pemberdayaan Perempuan, HTI,
Poligami mubah mereka resah, tanpa tahun.
Tabloid Media Ummat, memperjuangkan
kehidupan Islam.
Shofiyur Rohmah Mubarrokfury,
Arrohiqul Mahtum, Riyadl
Quraisy Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Mizan, Jakarta, 2007
http://pramareola.14.wordpress.com/2009/03/10/memahami
arti- gender
http://id.Wikipedia.org/wiki/Feminisme
[1] Asri
Supatmiati, Eksploitasi perempuan, Al-Wa’ie no 92 tahun VIII, 1-30 April 2008 hal.
30-31
[2] Imad
Zaki al-barudi,Tafsir Wanita, Al-Kautsar, Jakarta 2003, hal. 10
[3] Kadarusman,
M.Ag, Agama, Relasi gender dan feminism, Kreasi Wacana,Jogjakarta 2005, hal.
26.
[4] Lihat
majalah al-wa’ie no 92 tahu VII dalam rubrik opini, Kartini bukan ‘pejuang
gender’, Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat yang kuat
dilingkungannya, dia mengganggap manusia itu adalah sederajat sehingga tidak
seharusnya adat-istiadat membedakannya berdasarkan asal-usul keturunannya. Pada
awalnya dia mengangungkan kehidupan liberal di eropa yang tidak dibatasi
tradisi seperti di Jawa, namun setelah mengenal Islam justru dia mengkritik
peradaban masyarakat Eropa dan menyabutnya sebagai kehidupan yang tidak layak
disebut sebagai peradaban. Salah satu suratnya kepada Abendanon, 27 oktober
1902: “sudah leawt masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah
ibu sendiri menganggap masyarakat eropa itu sempurna? Dapatkan ibu menyangkal
bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakt ibu terdapat banyak hal-hal
yang sama sekali tidak patut disebut peradaban
[5] Media
Umat, edisi 20, 14-27 Ramadlon 1430 H/4-17 September 2009, hal. 24
[6] Ummu
Fathimah NJL, jalan panjang menuju KKG, dalam keadilan dan kesetaraan gender
tipu daya penghancuran keluarga, Aliansi penulis pro Syariah, 2007, hal.17-18
[7] John
M. Echols dan Hassan Shadily, kamus bahasa Inggris-Indonesia, Jakarta Gramedia,
1983 hal. 265
[9] DR.
Mansour fakih, Analisa gender dan transformasi sosial, Pustaka pelajar
Yogyakarta 1997 hal 7.
[10] Siti
Djuwariyah, tesis: Kesetaraan seks dan gender serta pengaruhnya dalam
pendidikan Islam, 2005, hal.20.
[11] Ruhaini
Dzuhayatin, Siti, MA. Gender dalam prespektif Islam (study terhadap hal-hal yang
menguatkan dan melemahkan gender dalam Islam dalam Membincang feminism
diskursus gender perspektif Islam, Risalah gusti, Surabaya cet. 2: 2000,
hal:231.
[12] Ibid,
Tesis: kesetaraan seks dan gender, hal. 22
[13] Kadarusman,
M.Ag, Agama, Relasi gender dan feminism, Kreasi Wacana,Jogjakarta 2005, hal.
22.
[14] ]
Ismail Adam Patel, Perempuan, feminism dan Islam, Pustaka Thoriqul Izzah 2005
hal 96, Belia menyimpulkan dari beberapa definisi diantaranya
adalah:*Kelompok-kelompok yang berjuang untuk mengubah kedudukan kaum perempuan
atau berbagai pemikirantentang kaum perempuan,*Sebuah doktrin yang menyuarakan
kesetaraan hak-hak social dan politikkaum perempuan dengan laki-laki, * juga
bisa bermakna upaya untuk membuat kaum perempuanmempunyai kesempatan dan
hak-hak istimewa sebagaiman yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, *
Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum
laki-laki, tetapi juga harus berusaha menghilangkanperbedaan jenis
kelamin….Konsep keluarga biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian
pula konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi dalih superioritas kaum
laki-laki.
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/feminisme
[16] Kadarusman,
M.Ag, Agama, Relasi gender dan feminism, Kreasi Wacana,Jogjakarta 2005, hal.
22.
[17] [17]
Ibid, hal.23.
[18] Ratna
Megawangi, Perkembangan teori feminism masa kini dan mendatang serta kaitannya
dengan pemikiran dalam Membincang feminism, diskursus gender perspektif Islam,
Rislah gusti, Surabaya 2000, cet. 2, hal 209
[19] Ratu
Erma Rahmayanti, KKG kebutuhan atau konspirasi, dalam Keadilan dan kesetaraan
gender tipu daya penghancuran keluarga, Aliansi penulis pro Syariah 2007 hal,
12
[20] Media
Umat, edisi 21, 9-22 oktober 2009 hal, 24
[21] ibid
[22] Ummu
Fathimah NJL, Jalan panjang menuju KKG dalam Keadilan dan kesetaraan gender
tipu daya penghancuran keluarga, Aliansi penulis pro Syariah 2007, hal 15
[23] Ratna
megawangi, membiarkan berbeda sudut pandang baru tentang relasi gender,
mizan,1999 hal.23-24
[24] ibid
[25] Kadarusman,
M.Ag, Agama, Relasi gender dan feminism, Kreasi Wacana,Jogjakarta 2005, hal.
22.
[26] http://pramareola.14.wordpress.com/2009/03/10/memahami
arti- gender
[27] http://pramareola.14.wordpress.com/2009/03/10/memahami
arti- gender
[28] ibid
[29] DR.
Mansour Fakih, Posisi kaum perempuan dalam Islam Tinjauan dari analisa gender,
dalam buku me http://pramareola.14.wordpress.com/2009/03/10/memahami arti-
gender mbincang feminism diskursus gender perspektif Islam, Risalah Gusti
Surabaya Cet.II 2000, hal. 48
[31] Ismail adam Patel, Perempuan,
Feminisme dan Islam, Pustaka Thoriqul Izzah 2005 hal 39
[32] Lathifah
Musa, Ide yang absurd, dalam Keadilan
dan kesetaraan gender tipu daya penghancuran keluarga, Alinsi Penulis pro
Syariah,2007, hal. 50.
[33] HTI,
Tim Pemberdayaan Perempuan, Poligami mubah mereka resah, tanpa tahun, hal.56
[34] Kadarusman,
M.Ag, Agama, Relasi gender dan Feminisme, Kreasi wacana Yogyakarta 2005, hal.64
[35] QS:
An-Nisa’:1, QS: Al-A’rof: 189, QS: Ar-Rum:21, Qs: AL-Hujurot:13 Qs:Az-Zumar: 6.
[36] Lihat
Riyadlus Sholihin jilid I, Pustaka
Amani, Jakarta, edisi Indonesia 1996, hal.303 (Hr. Bukhori dan Muslim),
Rasulullah SAW bersabda: setiap dari kalian adalah pemimpin, dan
bertanggungjawab terhadap apa yang ia pimpin, setiap laki-laki (suami) adalah
pemimpin dalam keluarganya dan bertangungjawab terhadap apa yang ia pimpin,
Perempuan (istri) adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab
terhadap apa yang ia pimpin
[37] QS
An-Nisa: 34, Lihat Dr. Qurais Shihab, Membumikan Al-qur’an, Mizan, Jakarta 2007
hal. 274, Laki-laki adalah pemimpin perempuan….sebagai bukti tidak bolehnya
perempuan terlibat dalam persoalan politik………Pandanga ini tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang
diamanatkan oleh ayat.
[38] Imad
Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, edisi Indonesia
2003, hal.511.
[39] ibid
[40] ibid
[41] Lihat
Riyadlus Sholihin jilid I, Pustaka
Amani, Jakarta, edisi Indonesia 1996, hal. 299, “ Rasulullah SAW bersabda:
orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik budi
pekertinya. Dan orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang
paling baik terhadap istrinya”, hadis ini diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi,
dia berkata bahwa kedudukan hadis tersebut adalah baik dan bias masuk pada
tingkatan shohih.
[42] Media
Umat, Edisi 21, Syawal- 4 Dzulqoidah 1430 H/9-22 oktober 2009
[43] Ummu
Nayla, Pemberdayaan perempuan perspektif Islam sebuah solusi, dalam buku
Keadilan dan kesetaraan gender tipu daya penghacuran keluarga, Aliansi penulis
pro Syariah 2007, hal.119
[44] QS:
Al-Ahzab:33, perempuan diperbolehkan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya
dengan syarat, yaitu: dengan izin wali atau orang tua dan suami, menutupa
auratnya, menjaga pandangannya dan tidak berikhtilath (bercampur baur
[45] Media
umat, edisi 20, 14-27 Ramadlon 1430/4-17 September 2009
[46] ibid
[47] Lihat,
Shofiyur Rohman Mubarokfuri, Ar-rohiqil Mahtum, Maktabah nur wa hidayah, Riyadl
2007 hal, 133 bab, bai’ah Aqobah pertama
[48] Al-quran
al-Imran ayat 104
[49] Lihat
Asbabun Nuzul QS: Mujadalah: 1, Asbabun Nuzul edisi 2 Indonesia, Cv. Penerbit
Diponegoro Bandung 2002, hal. 545
[50] QS:
An-Nisa’:124, QS: an-Nahl: 97, QS: Al-Ahzab:36, QS: Al-Hujurat:13
[51] Ummu
Nayla, Pemberdayaan perempuan perspektif Islam sebuah solusi, dalam buku
Keadilan dan kesetaraan gender tipu daya penghacuran keluarga, Aliansi penulis
pro Syariah 2007, hal.117
[52] QS.
At-Tahrim:6
[53] Ratna
Megawangi, Membiarkan berbeda, sudut pandang baru tentang relasi gender, Mizan
1999 hal 132.
[54] Ummu
Nayla, Pemberdayaan perempuan prespektif Islam sebuah solusi dalam keadilan dan
kesetaraan gender, tipu daya penghancur keluarga, Aliansi penulis pro Syariah,
2007 hal. 122
[55] .”
(QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
[56] (QS.
An-Nahl [16]: 97)
[57] (QS.
An Nisa [4]: 124)
[58] (Tafsir
Ibnu Katsir: 2/190, Tafsir Al Bagawy, 2/153
[59] (Lihat
Hirâsatu al Fadhîlah, hal. 18-19)
[60] (QS.
Ali Imran [3]: 36)
[61] (Lihat
kritikan Syaikh al Utsaimin tentang kata al musâwâtu dalam Syarhu al ‘Aqîdah al
Wâsithiyyah, hal. 180-181)
[62] (QS.
An-Nisa` [4]: 34)
[63] (Lihat
Hirâsah al Fadhîlah, hal. 22)
[64] (QS.
An Nisa` [4]: 32)
[65] (Lihat
Hirâsah al Fadhîlah, hal. 22)
0 komentar:
Posting Komentar