PEREMPUAN DALAM
AGAMA KHONG HU CHU
BAB II
PEMBAHASAN
A. Status perempuan dalam agama
Khong Hu Chu
Tata aturan kosmis
merupakan sumber wahyu Tuhan dan merupakan model bagi tata aturan manusia,
bahwa keluarga dipandang sebagai pusat komunitas yang suci dan bahwa seluruh
manusia, baik laki-laki maupun perempuan, bekerja dalam setting kontekstual,
hirarkis dan koreogarafial yang tinggi. Hubungan-hubungan dan tingkah laku yang
dianggap pantas bagi mereka diperinci dalam istilah-istilah yang cukup
spesifik.
Dalam tata aturan
kosmis tentang segala sesuatu, perempuan dianggap sebagai yin sehingga bisa
disamakan kekuatan perempuan identik dengan bumi, dengan segala sesuatu yang
rendah dan inferior. Kekuatan feminin ini dicirikan sebagai mengalah, reseptik
dan tunduk, dan ia memajukan dirinya melalui perasaan tekun[1].
Dari pola kosmis ini dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan dalam tata aturan
manusia pasti rendah dan inferior seperti bumi, dan bahwa tingkah laku yang
layak bagi seorang perempuan adalah mengalah, lemah, pasif, seperti bumi. Bagi
laki-laki dipandang superior, tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun tanpa
perempuan sebagai komplemen.
Di dalam aturan manusia, perempuan hanya
dilihat dalam konteks keluarga, sementara laki-laki dilihat dalam tata aturan
sosial politik yang lebih luas. Di dalam keluarga seorang perempuan harus
tunduk pada tiga kewajiban, yakni, sebagai anak perempuan ia harus tunduk pada
ayahnya; sebagai istri harus tunduk pada suami; setelah tua harus tunduk pada
anaknya. Jika para penganut konfusianisme memanggil laki-laki dengan sheng-Tao(jalan
kebijaksanaan), maka untuk perempuan disebut fu-Tao, kata Cina
untuk fumenunjukkan seorang perempuan dengan membawa sapu, berarti
wilayah domestik sebagai tempatnya yang tepat.
Begitu juga dalam
sistem kanak-kanak perempuan, semata-mata untuk mempersiapkan mereka pada
peranan masa depannya sebagai istri dan ibu. Berbeda dengan anak laki-laki,
yang pergi keluar rumah pada umur 10 tahun demi pendidikan sejarah dan hal-hal
klasik, maka anak perempuan tetap di rumah, terasing dalam tempat tinggal
perempuan dan di bawah bimbingan seorang pengatur. Mereka belajar sikap yang
baik dan keterampilan-keterampilan domestik seperti menjahit dan menenun.
“Seorang gadis pada
usia sepuluh tahun berhenti keluar rumah (dari pondokan perempuan). Pengaturnya
mengajarkannya (seni) berbicara dan bersikap menyenangkan untuk patuh dan taat,
untuk memegang serabut jerami, untuk belajar (seluruh) pekerjaan perempuan,
bagaimana menyediakan pakaian, menyaksikan korban, menyediakan minuman dan
saus, memenuhi warung dan piring dengan asinan dan air asin dan membantu
membawa peralatan untuk upacara-upacara .”[2]
ada umur 15 tahun,
menurut kronologis ini, seorang gadis akan menerima tusuk konde pada upacara
kedatangan usia baru. Pada umur 20 tahun dia harus kawin. Tiga bulan sebelum
perkawinan, seorang perempuan muda harus belajar empat aspek karakter perempuan
yakni sifat baik, bicara, bersikap, dan bekerja. (Book of Rites, bab 44).
Bagi para penganut
konfusius upacara perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan sosial, sebagaimana disebutkan bahwa perkawinan menandai
terbentuknya satu hubungan baru dalam rantai hubungan keluarga, perjalanan suci
dari satu generasi ke generasi lain.
pacara
perkawinan dimasukkan untuk menjadikan satu ikatan cinta antara (dua keluarga
yang berbeda) nama keluarga, dengan satu pandangan, pada sifat retrospektifnya,
untuk menyelamatkan pelayanan-pelayanan pada leluhur, dan pada kuil
prospektifnya”.
B.
Peran Perempuan dalam Sejarah Sosial dan
Keagamaan Konghucu
Pan
Chao (116 M), pengarang Instruction For Women, adalah seorang
perempuan yang sangat terdidik (pendidikan tinggi) yang secara umum diakui
kecendekiaannya dan intelektualnya. Dia dipanggil untuk memberi pelajaran
mengenai keluarga kerajaan.
Dia
memulai dengan menyinggung praktik kuno kelahiran seorang gadis yang berarti
ada tipe kehidupan yang dia maksudkan untuk dijalani.
“Pada
hari ketiga setelah kelahiran seorang gadis, para orang tua melakukan tiga
kebiasaan, pertama, meletakkan bayi di bawah tempat tidur,kedua, memberikannya
pecahan tanah untuk bermain. Dan ketiga, mengumumkan kelahirannya kepada para
leluhur dengan sesaji”. (Nu Chieh 1:2b-3a, Swann 1932, 83).
Tindakan
pertama menunjukkan bahwa sebagai perempuan dia harus bersikap rendah dan
tunduk, sederhana di hadapan orang lain, kedua menunjukkan bahwa dia harus
bekerja keras dan rajin dalam wilayah domestik, dan ketiga bahwa dia harus
masuk sepenuhnya kepada tanggung jawab istri terhadap para leluhur keluarga
suaminya.
Kemudian
Pan chao menjelaskan tentang hakikat ikatan perkawinan dan kewajiban istri
terhadap suaminya. Dia sepenuhnya menerima persesuaian kosmologis hubungan
antara suami dan istri dengan langit dan bumi, dan implikasi-implikasi
perbedaan peranan secara seksual. Yaitu suami harus kuat, tegas dan dominan
seperti langit, dan istri harus lemah mudah terpengaruh, bersikap tunduk
seperti bumi. Kewajiban suami adalah mengatur istri sedang kewajiban istri
adalah melayani suami. Sesuatu akan berjalan serba salah apabila salah satuny
gagal melakukan kewajibannya terhadap yang lain. Jadi laki-laki yang
gagal menggunakan otoritasnya terhadap istrinya, kesalahannya sama dengan
istri yang tidak setia melayani suaminya. (Nu Chieh 1:4b-5a, Swann, 1932, 84).
C.
Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-peran
Gender Tradisional dalam Perspektif Konghucu
Setelah
Pan chao menjadi masyhur di kalangan para cendekiawan, mulailah muncul beberapa
penulis lainnya yang mencoba menginterpretasi teks-teks suci dalam ajaran
konfusius. Dua di antara tokoh yang paling menonjol dalam hal ini adalah Ms.
Ch’eng (700 M) dan Sung Jo-Chao (800 M). Dua penulis perempuan ini mengambil
dua keuntungan besar dengan mengikuti gaya Pan Chao dalam menulis kitab-kitab
mereka.
Pada
bagian ini perempuan sudah mulai mencari-cari kesalahan para suami dengan
mempertanyakan beberapa sifat laki-laki yang tidak selamanya berada dalam
perbuatan yang baik. Contohnya dalam The Classic Of Filial Piety yakni
sifat sederhana dan bersahaja sama agungnya dengan yang dikemukakan dalam Analects
for Women yang ditulis seratus tahun kemudian. Sung Jo-Chao, pengarang
yang sangat terkesan dengan kehidupan Pan Chao yang hidupnya dicurahkan untuk
pendidikan moral bagi perempuan. Bukunya Analects for Women kaya
akan uraian-uraian yang kongkrit tentang bagaimana mengolah karakter pribadi
seseorang, bagaimana memimpin atau menjalankan rumah tangga dan bagaimana
mengurus hubungan rumah tangga. Nasehat berikut berasal dari bab pembukaan.
“Jagalah
tubuhmu tetap bersih dan kehormatanmu tetap tak ternoda. Jika berjalan jangan
tengokkan kepalamu; jika berbicara jangan buka mulutmu lebar-lebar; jika
berdiri jangan kirapkan pakaianmu. Jika engkau merasa senang, jangan
meluapkannya dalam tertawa terbahak-bahak; jika marah jangan melepaskannya
dalam suara yang keras.”
[1] Wilhem, Book
of Changes, Kun hexagram, 1976, h. 386-388.
[2] Book
of rites, ch 12, legge 1967, 1:479.
[1] Dr.M.Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di Indonesia”, (Jakarta : Pelita
Kebajikan, 2005), h.11
[2] Kitab Sanjak
(Shi-Ching), adalah salah satu kitab yang mendasari bagi pemeluk Agama
Khonghucu, bagia dari kitab yang Lima (wu-ching) yang dihimpun oleh nabi
khongcu sendiri yang paling tua berasal dari zaman Dinasti Siang
(1766sm-1122sm) dan yang plalinh muda berasal dari zaman
0 komentar:
Posting Komentar