Kamis, 26 Mei 2016

PEREMPUAN DALAM AGAMA KHONG HU CHU



PEREMPUAN DALAM AGAMA KHONG HU CHU

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Status perempuan dalam agama Khong Hu Chu

Tata aturan kosmis merupakan sumber wahyu Tuhan dan merupakan model bagi tata aturan manusia, bahwa keluarga dipandang sebagai pusat komunitas yang suci dan bahwa seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan, bekerja dalam setting kontekstual, hirarkis dan koreogarafial yang tinggi. Hubungan-hubungan dan tingkah laku yang dianggap pantas bagi mereka diperinci dalam istilah-istilah yang cukup spesifik.
Dalam tata aturan kosmis tentang segala sesuatu, perempuan dianggap sebagai yin sehingga bisa disamakan kekuatan perempuan identik dengan bumi, dengan segala sesuatu yang rendah dan inferior. Kekuatan feminin ini dicirikan sebagai mengalah, reseptik dan tunduk, dan ia memajukan dirinya melalui perasaan tekun[1]. Dari pola kosmis ini dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan dalam tata aturan manusia pasti rendah dan inferior seperti bumi, dan bahwa tingkah laku yang layak bagi seorang perempuan adalah mengalah, lemah, pasif, seperti bumi. Bagi laki-laki dipandang superior, tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun tanpa perempuan sebagai komplemen.
Di dalam aturan manusia, perempuan hanya dilihat dalam konteks keluarga, sementara laki-laki dilihat dalam tata aturan sosial politik yang lebih luas. Di dalam keluarga seorang perempuan harus tunduk pada tiga kewajiban, yakni, sebagai anak perempuan ia harus tunduk pada ayahnya; sebagai istri harus tunduk pada suami; setelah tua harus tunduk pada anaknya. Jika para penganut konfusianisme memanggil laki-laki dengan sheng-Tao(jalan kebijaksanaan), maka untuk perempuan disebut fu-Tao, kata Cina untuk fumenunjukkan seorang perempuan dengan membawa sapu, berarti wilayah domestik sebagai tempatnya yang tepat.
Begitu juga dalam sistem kanak-kanak perempuan, semata-mata untuk mempersiapkan mereka pada peranan masa depannya sebagai istri dan ibu. Berbeda dengan anak laki-laki, yang pergi keluar rumah pada umur 10 tahun demi pendidikan sejarah dan hal-hal klasik, maka anak perempuan tetap di rumah, terasing dalam tempat tinggal perempuan dan di bawah bimbingan seorang pengatur. Mereka belajar sikap yang baik dan keterampilan-keterampilan domestik seperti menjahit dan menenun.
“Seorang gadis pada usia sepuluh tahun berhenti keluar rumah (dari pondokan perempuan). Pengaturnya mengajarkannya (seni) berbicara dan bersikap menyenangkan untuk patuh dan taat, untuk memegang serabut jerami, untuk belajar (seluruh) pekerjaan perempuan, bagaimana menyediakan pakaian, menyaksikan korban, menyediakan minuman dan saus, memenuhi warung dan piring dengan asinan dan air asin dan membantu membawa peralatan untuk upacara-upacara .”[2]
ada umur 15 tahun, menurut kronologis ini, seorang gadis akan menerima tusuk konde pada upacara kedatangan usia baru. Pada umur 20 tahun dia harus kawin. Tiga bulan sebelum perkawinan, seorang perempuan muda harus belajar empat aspek karakter perempuan yakni sifat baik, bicara, bersikap, dan bekerja. (Book of Rites, bab 44).
Bagi para penganut konfusius upacara perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan sosial, sebagaimana disebutkan bahwa perkawinan menandai terbentuknya satu hubungan baru dalam rantai hubungan keluarga, perjalanan suci dari satu generasi ke generasi lain.
pacara perkawinan dimasukkan untuk menjadikan satu ikatan cinta antara (dua keluarga yang berbeda) nama keluarga, dengan satu pandangan, pada sifat retrospektifnya, untuk menyelamatkan pelayanan-pelayanan pada leluhur, dan pada kuil prospektifnya”.

B.     Peran Perempuan dalam Sejarah Sosial dan Keagamaan Konghucu
            Pan Chao (116 M), pengarang Instruction For Women, adalah seorang perempuan yang sangat terdidik (pendidikan tinggi) yang secara umum diakui kecendekiaannya dan intelektualnya. Dia dipanggil untuk memberi pelajaran mengenai keluarga kerajaan.
            Dia memulai dengan menyinggung praktik kuno kelahiran seorang gadis yang berarti ada tipe kehidupan yang dia maksudkan untuk dijalani.
            “Pada hari ketiga setelah kelahiran seorang gadis, para orang tua melakukan tiga kebiasaan, pertama, meletakkan bayi di bawah tempat tidur,kedua, memberikannya pecahan tanah untuk bermain. Dan ketiga, mengumumkan kelahirannya kepada para leluhur dengan sesaji”. (Nu Chieh 1:2b-3a, Swann 1932, 83).
            Tindakan pertama menunjukkan bahwa sebagai perempuan dia harus bersikap rendah dan tunduk, sederhana di hadapan orang lain, kedua menunjukkan bahwa dia harus bekerja keras dan rajin dalam wilayah domestik, dan ketiga bahwa dia harus masuk sepenuhnya kepada tanggung jawab istri terhadap para leluhur keluarga suaminya.
            Kemudian Pan chao menjelaskan tentang hakikat ikatan perkawinan dan kewajiban istri terhadap suaminya. Dia sepenuhnya menerima persesuaian kosmologis hubungan antara suami dan istri dengan langit dan bumi, dan implikasi-implikasi perbedaan peranan secara seksual. Yaitu suami harus kuat, tegas dan dominan seperti langit, dan istri harus lemah mudah terpengaruh, bersikap tunduk seperti bumi. Kewajiban suami adalah mengatur istri sedang kewajiban istri adalah melayani suami. Sesuatu akan berjalan serba salah apabila salah satuny gagal melakukan kewajibannya terhadap yang lain. Jadi laki-laki yang gagal menggunakan otoritasnya terhadap istrinya, kesalahannya sama dengan istri yang tidak setia melayani suaminya. (Nu Chieh 1:4b-5a, Swann, 1932, 84).





C.     Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-peran Gender Tradisional dalam Perspektif Konghucu

            Setelah Pan chao menjadi masyhur di kalangan para cendekiawan, mulailah muncul beberapa penulis lainnya yang mencoba menginterpretasi teks-teks suci dalam ajaran konfusius. Dua di antara tokoh yang paling menonjol dalam hal ini adalah Ms. Ch’eng (700 M) dan Sung Jo-Chao (800 M). Dua penulis perempuan ini mengambil dua keuntungan besar dengan mengikuti gaya Pan Chao dalam menulis kitab-kitab mereka.
            Pada bagian ini perempuan sudah mulai mencari-cari kesalahan para suami dengan mempertanyakan beberapa sifat laki-laki yang tidak selamanya berada dalam perbuatan yang baik. Contohnya dalam The Classic Of Filial Piety yakni sifat sederhana dan bersahaja sama agungnya dengan yang dikemukakan dalam Analects for Women yang ditulis seratus tahun kemudian. Sung Jo-Chao, pengarang yang sangat terkesan dengan kehidupan Pan Chao yang hidupnya dicurahkan untuk pendidikan moral bagi perempuan. Bukunya Analects for Women kaya akan uraian-uraian yang kongkrit tentang bagaimana mengolah karakter pribadi seseorang, bagaimana memimpin atau menjalankan rumah tangga dan bagaimana mengurus hubungan rumah tangga. Nasehat berikut berasal dari bab pembukaan.
            “Jagalah tubuhmu tetap bersih dan kehormatanmu tetap tak ternoda. Jika berjalan jangan tengokkan kepalamu; jika berbicara jangan buka mulutmu lebar-lebar; jika berdiri jangan kirapkan pakaianmu. Jika engkau merasa senang, jangan meluapkannya dalam tertawa terbahak-bahak; jika marah jangan melepaskannya dalam suara yang keras.”





[1] Wilhem, Book of Changes, Kun hexagram, 1976, h. 386-388.

[2] Book of rites, ch 12, legge 1967, 1:479.



[1] Dr.M.Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di Indonesia”, (Jakarta : Pelita Kebajikan, 2005), h.11
[2] Kitab Sanjak (Shi-Ching), adalah salah satu kitab yang mendasari bagi pemeluk Agama Khonghucu, bagia dari kitab yang Lima (wu-ching) yang dihimpun oleh nabi khongcu sendiri yang paling tua berasal dari zaman Dinasti Siang (1766sm-1122sm) dan yang plalinh muda berasal dari zaman

0 komentar:

Posting Komentar